Minggu, 07 Juni 2009

Siaran Pers Depkominfo

Depkominfo mengeluarkan Siaran Pers No. 126/PIH/KOMINFO/6/2009 tentang Aturan Hukum Untuk Mencegah Kecemasan, Trauma dan Ketakutan Dalam Berkomunikasi Secara Elektronik. Membaca Siaran Pers tersebut terasa aneh mengingat berbagai hal yang saya lihat kurang mengena dari Siaran Pers tersebut. Penulis ini memberikan catatan sebagai berikut:

1. Tugas menafsirkan
Dalam butir 3 Siaran Persnya, Depkominfo memberikan penafsiran atas istilah “tanpa hak” dalam Pasal 27 ayat (3) dengan mengambil rujukan pada UU Perlindungan Konsumen. Lalu Depkominfo menyimpulkan “Oleh karena itu, unsur “tanpa hak” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE menjadi tidak terpenuhi, sehingga Pasal 27 ayat (3) tersebut tidak bisa diterapkan untuk kasus ini. Dengan kata lain, tindakan Ibu Prita bukan merupakan penghinaan kecuali jika ternyata dalam pembuktian di persidangan ditemukan motif lain yang beritikad tidak baik.”
Tidak jelas mengapa Depkominfo harus duduk di kursi hakim untuk memberikan penafsiran semacam ini. Akan menjadi tidak menyenangkan jika pengadilan berpendirian lain. Depkominfo seharusnya tidak memberikan penafsiran atas fakta dan hokum atas kasus yang sudah berada di pengadilan.

2. Sebagaimana dicatat oleh Depkominfo dalam butir 9 Siaran Persnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 27 ayat (3) tidak berdiri sendiri. Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan 311 KUHP. Karena itu jika ada perkara pidana menyangkut penghinaan atau pencemaran nama baik dengan sandaran Pasal 27 ayat (3) maka hal itu merupakan delik aduan.
Pasal 311 memungkinkan adanya pembuktian akan kebenaran dari apa yang dituliskan. Karena itu jika ada perkara pidana menyangkut penghinaan atau pencemaran nama baik dengan sandaran Pasal 27 ayat (3) maka hal itu merupakan delik aduan.
Ada tidaknya penghinaan atau pencemaran nama baik masih harus dibuktikan di pengadilan. Saya menempatkan pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut disini.
Mahkamah Konstitusi berpendapat:

“3.17.1] Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan;”

3. Intersepsi
Butir 5 dan 6 Siaran Pers Depkominfo sungguh sangat menyesatkan. Rujukan pada Pasal 53 UU ITE dan Pasal 40 dan 42 UU Telekomunikasi tidak memadai. Pasal 31 UU ITE, sebagai salah satu pasal di bawah Bab VII mengenai Perbuatan yang dilarang,menyatakan:

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan
berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Merujuk pada ketentuan tersebut, Pasal 53 UU ITE dan Pasal 40 dan 42 UU Telekomunikasi tidak mengena. Dengan berlakunya UU ITE, sebagaimana dijelaskan dalam butir 9 Siaran Pers, Pasal 31 ayat (3) UU ITE sudah berlaku dan ketentuan dalam UU Telekomunikasi sudah tidak relevan dalam kaitan dengan penggunaan sarana TI. Dalam UU Telekomunikasi cukup jelas ditentukan keperluannya, yaitu untuk “proses peradilan pidana”. Pasal 31 ayat (3) UU ITE menyebutkan “untuk keperluan penegakan hukum”. Penegakan hukum tidak selalu perlu sama dengan proses peradilan pidana. Dalam UU Telekomunikasi jelas siapa yang dapat melakukan perekaman informasi, yaitu penyelenggara jasa telekomunikasi. Dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE tidak disebutkan secara jelas siapa yang dapat melakukan intersepsi. Hal ini berarti bahwa siapa saja dapat melakukan intersepsi “atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya” (termasuk KPK dan PPNS) yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Mungkin pihak kepolisian meminta jasa dari pakar telematika untuk melakukan intersepsi. Pakar yang bersangkutan mungkin melakukan perilaku yang menyimpang dari apa yang diminta oleh Pihak Kepolisian. Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi juga menyatakan “serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku”. Ini artinya penyelenggara jasa telekomunikasi tidak wajib memberikan informasi atas permintaan Jaksa Agung dan Kapolri atau penyidik. Pasal 31 ayat (3) UU ITE justru melenceng jauh dari UU Telekomunikasi dan dengan demikian UU ITE justru sangat mencemaskan dan perlu dilakukan koreksi. Terjadilah yang terjadi. Saya piker, penegak hokum akan mengabaikan UU Telekomunikasi dengan berlakunya Pasal 31 ayat (3) UU ITE.
Pasal 31 ayat (4) UU ITE menyebutkan bahwa ketentuan mengenai tata cara intersepsi diatur lebih lanjut dengan PP. Pasal 31 ayat (4) tersebut tidak menunda pemberlakuan Pasal 31 ayat (3) sampai dengan adanya PP. PP hanya mengatur ketentuan lebih lanjut. Tentu kita dapat berharap pemerintah segera mengeluarkan PP yang mengatur tata cara intersepsi ini secara lebih detail dan bergigi. Dengan demikian intersepsi mungkin sudah dilakukan saat ini atas nama penegakan hukum. Siapa tahu?
Pernyataan Depkominfo:
“Dengan demikian, tidak perlu dan tidak ada alasan sedikitpun bagi masyarakat untuk merasa cemas, trauma dan takut menggunakan layanan telekomunikasi dan dalam berkomunikasi secara elektronik bagi kepentingan aktivitas masing-masing masyarakat.”
Dalam kaitan dengan intersepsi, pernyataan tersebut sungguh menyesatkan, sebagaimana sudah diuraikan di atas. Ada baiknya Depkominfo menarik Siaran Persnya yang, saya duga, sangat menyesatkan dan tidak mendidik tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar