Rabu, 29 Juli 2009

Hak Jaksa Mengajukan PK

Dalam tulisan saya berjudul “Hak Jaksa Mengajukan PK dan Batasannya”, saya mengulas mengenai hak jaksa untuk mengajukan PK dan menyimpulkan bahwa jaksa berhak mengajukan PK sesuai Pasal 263 ayat (3) KUHAP. Dalam tulisan tersebut saya hanya menyitir mengenai Putusan MA dalam Negara v Muchtar Pakpahan, Negara v Pollycarpus, dan Negara v H. MULYAR bin SAMSI. Saya tidak menyinggung Putusan MA dalam Negara v JOKO SOEGIARTO TJANDRA (Putusan Mahkamah Agung Nomor 12PK/PIDSUS/2009 Tahun 2009) dan Negara v Syahril Sabirin (Putusan Mahkamah Agung Nomor 07PK/PIDSUS/2009 Tahun 2009), karena pada waktu menuliskan hal itu belum membaca kedua putusan MA tersebut. Setelah saya membaca kedua putusan yang terakhir, saya melihat bahwa pertimbangan hukum yang diberikan oleh MA semakin jauh dari yang ditentukan oleh KUHAP.
Pasal 263 ayat (3) KUHAP memberikan hak atau wewenang kepada Jaksa untuk mengajukan PK tetapi hal itu sangat terbatas hanya terhadap putusan yang “dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”. Hal ini berarti bahwa dalam keseluruhan PK yang diajukan oleh jaksa, MA seharusnya menolak mengabulkan permintaan PK tersebut.
Dalam dua putusan terakhir yang saya sebut di atas, terdapat dissenting opinion, yang menolak untuk mengabulkan permintaan PK jaksa. Namun demikian dissenting opinion tersebut tidak membantu meluruskan dalam hal-hal apa jaksa dapat mengajukan PK. Dissenting Opinion yang ada meneguhkan pandangan bahwa KUHAP tidak mengatur PK oleh jaksa.
Pertimbangan MA dalam Negara v JOKO SOEGIARTO TJANDRA dan Negara v Syahril Sabirin sangatlah tidak masuk akal dan karena itu tidak dapat dibenarkan dalam kerangka berpikir KUHAP. MA dalam kasus-kasus itu seharusnya menolak permohonan Jaksa karena sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (3) putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang dipersoalkan "tidak ada memuat pertimbangan bahwa perbuatan yang didakwakan telah terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan." Setelah gagal menemukan landasan hukum yang jelas dalam KUHAP, MA mendasarkan diri pada pertimbangan kepentingan umum. Tidak jelas kepentingan umum yang mana yang memperbolehkan MA untuk menerima permohonan PK yang diajukan oleh jaksa dalam kedua kasus tersebut dan dalam hal apa serta sejauh mana pertimbangan kepentingan umum harus mengesampingkan bunyi undang-undang.

Pendapat Mahkamah Konstitusi
Prof. DR. Komariah E. Sapardjaja, SH , Hakim Agung, yang memberikan dissenting opinion dalam Negara v Syahril Sabirin tersebut, menyitir pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 16/PUU-VI/2008. MK juga berpandangan bahwa Jaksa tidak berwenang mengajukan PK. MK menyatakan dalam halaman 52 dari Putusannya:

: “....proses yang panjang yang telah dilalui mulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan putusan peradilan di tingkat pertama, banding dan kasasi, dipandang telah memberikan kesempatan yang cukup bagi Jaksa/Penuntut Umum menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Oleh karena itu, dipandang adil jikalau pemeriksaan peninjauan kembali tersebut dibatasi hanya bagi Terpidana atau ahli warisnya karena Jaksa/Penuntut Umum dengan segala kewenangannya dalam proses peradilan dalam tingkat pertama, banding dan kasasi, dipandang telah memperoleh kesempatan yang cukup. Jikalau benar bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang limitatif tersebut dipandang tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat karena terjadinya pergeseran dalam paradigma yang dianut, maka ketentuan hukum dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebutlah yang harus diubah dan disesuaikan terlebih dahulu dengan kesadaran hukum baru yang berkembang dan hidup dalam masyarakat melalui proses legilisasi “

Mahkamah Konstitusi hanya melihat pada Pasal 263 ayat (1) untuk berpendirian bahwa jaksa tidak mempunyai wewenang untuk mengajukan PK. MK terkecoh dengan pendirian bahwa jaksa tidak berwenang mengajukan PK tanpa melakukan pemeriksaan terhadap keseluruhan Pasal 263.

Jika sekiranya Pasal 263 ayat (3) KUHAP dibaca dengan teliti maka MK tidak akan membuat pertimbangan sedemikian dan MA juga tentu tidak akan menerima PK yang diajukan oleh jaksa tersebut dan tidak perlu sampai menyitir Penjelasan Pasal 49 Undang Undang nomor 5 tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan menyangkut pengertian dari kepentingan umum untuk membenarkan PK oleh jaksa.
Saya pikir perlu ditatar agar para penegak hukum menafsirkan undang-undang secara benar dan mentaatinya.

Kamis, 23 Juli 2009

Putusan MK soal Pasal 160 KUHP

Dalam perkara yang diajukan Dr. Rizal Ramli yang meminta pembatalan Pasal 160 KUHP, Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil kesimpulan dalam PUTUSAN Nomor 7/PUU-VII/2009 yang dibuat dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Selasa tanggal empat belas bulan Juli tahun dua ribu sembilan, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal dua puluh dua bulan Juli tahun dua ribu sembilan, bahwa “Pasal 160 KUHP adalah conditionally constitutional dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil” (Lihat Para [4.3]). Sehubungan dengan kesimpulan MK tersebut, MK mengadili bahwa Permohonan Dr. Rizal Ramli tersebut ditolak. Dalil-dalil yang disampaikan oleh Dr. Rizal Ramli keseluruhannya ditolak oleh MK. Dalam pertimbangannya MK menyatakan:

“Bahwa meskipun pasal a quo lahir pada masa kolonial Belanda, tetapi menurut Mahkamah substansi norma yang terkandung dalam pasal a quo tetap sejalan dengan prinsip-prinsip negara yang berdasarkan hukum karena norma yang dikandung dalam pasal a quo memuat prinsip universal yang tidak mungkin dinegasikan oleh negara-negara beradab yang menjunjung tinggi hukum. Nilai hukum yang hendak dilindungi adalah memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dari perbuatan menghasut supaya orang lain melakukan perbuatan pidana, menghasut orang supaya melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, atau tidak menuruti perintah Undang-Undang atau perintah jabatan.”

Namun demikian MK berpendirian bahwa:

“Menurut Mahkamah, walaupun pasal a quo berasal dari warisan kolonial Belanda, namun substansinya yang bersifat universal, yakni melarang orang menghasut untuk melakukan tindak pidana, masih tetap sesuai dengan kebutuhan hukum Indonesia saat ini. Meskipun demikian, dalam penerapannya, pasal a quo harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil.” (lihat Para [3.14.1]

Hal ini tentu menimbulkan persoalan dalam praktek. Dengan menolak permohonan Dr. Rizal Ramli dalam kasus tersebut berarti bahwa Pasal 160 adalah konstitusional dan masih berlaku. Namun kesimpulan MK bahwa Pasal 160 konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil merupakan sesuatu yang aneh.
Dalam perkara tersebut dihadirkan dua orang saksi ahli, yang adalah pakar dalam bidang hukum pidana, yaitu Prof. Dr. J.E. Sahetapy dan Dr. Rudy Satrio. Kedua ahli ini berbeda pandangan mengenai Pasal 160. Menurut Prof. Sahetapy, Pasal 160 adalah delik materiil (Kesimpulan butir 4 hlm. 33 putusan MK) sedangkan Dr. Rudy Satrio berpandangan bahwa Pasal 160 adalah delik formil (hlm 35 Putusan MK).

MK tidak mempertimbangkan persoalan delik formil-materiil ini secara mendalam. Jika pendapat Rudy Satrio, bahwa Pasal 160 adalah delik formil, diikuti maka Pasal 160 adalah inkonstitusional. Jika pendapat Prof. Sahetapy, bahwa Pasal 160 adalah delik materiil, yang diikuti maka, menurut MK, Pasal 160 adalah konstitusional. Tentu hal ini menjadi persoalan siapa mengikuti pandangan bahwa Pasal 160 termasuk delik formil dan siapa yang mengikuti pandangan bahwa Pasal 160 adalah delik materiil. Persoalan apakah suatu delik adalah delik formil atau materiil tidak ditentukan secara tersurat dalam KUHP. Bahwa suatu delik adalah delik formil atau materiil disimpulkan dari perumusan delik yang bersangkutan. Untuk keperluan perkara pidana, harus dibuktikan unsur-unsur delik.
Jadi MK tidak ada mengubah ketentuan dalam Pasal 160 KUHP.

Untuk keperluan penyidikan, tentu penyidik akan berpegang pada amar putusan MK yang menolak permohonan dari Dr. Rizal ramli tersebut dan hal ini mempunyai konsekwensi bahwa Pasal 160 adalah konstitusional dan masih berlaku, tanpa perlu menghiraukan putusan MK bahwa yang konstitusional adalah bahwa Pasal 160 adalah delik materiil.



Catatan: Sebelumnya, Pasal 160 KUHP juga pernah dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi oleh Dr. R. PANJI UTOMO tetapi ditolak oleh MK dengan alasan Dr. R. PANJI UTOMO tidak mempunyai legal standing untuk memohonkan pengujian atas Pasal 160 tersebut (Lihat Putusan MK No. 6/PUU-V/2007).

Minggu, 12 Juli 2009

Farmasi Online

Dunia farmasi tidak mau ketinggalan dalam pemanfaatan teknologi informasi. Penjualan obat-obatan secara online di berbagai belahan dunia sudah dimulai pada tahun 1990-an dan berkembang sedemikian rupa. Aturan-aturan sudah diterapkan dan pedoman-pedoman mengenai pelaksanaan farmasi online sudah dibuat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah juga mengeluarkan pedoman untuk pelaksanaan farmasi online ini. Berhubung korban berjatuhan, yang mengakibatkan perkara-perkara baik pidana maupun sipil di Amerika Serikat banyak digelar bernilai jutaan dollar. Kongres Amerika Serikat sudah mengeluarkan juga undang-undang untuk mengatur farmasi online, yang mulai berlaku pada tangga 13 April 2009 yang lalu.
Penjualan prouk-produk farmasi di Internet sudah meluas. Internet menawarkan pasar yang lebih luas, harga lebih murah, dan kemungkinan pembelian secara anonym. Ketentuan penjualan obat tergolong restriktif, penjuala produk-produk media tidak selalu perlu menjadi restriktif. Farmasi online mempunyai dampak dalam menunjukkan bahwa produk-produk farmasi merupakan barang-barang yang terjangkau dan dapat mendorong otonomi dari pasien dalam menentukan pilihan pengobatannya.

Para pebisnis di Indonesia juga tidak mau ketinggalan dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam dunia farmasi ini. Demikianlah misalnya beberapa apotik ataupun toko obat telah menyediakan penjualan obat dan alat-alat kesehatan lainnya secara online. Bahkan ada juga apoteker yang menawarkan jasa konsultasi obat secara online. Lihat misalnya, seperti Apotik Tempo, Apotik Medicastore, Apotik Indica dan Bali Chemist. Juga pihak lain di luar negeri telah secara sengaja melakukan penjualan obat-obatan dari luar negeri ke Indonesia, seperti Rumah Farmasi.

Permasalahan-permasalahan hukum berkenaan dengan Farmasi Online
Hukum yang berlaku terhadap farmasi online akan sangat banyak menyentuh persoalan etika. Haruskah individu dihalangi hukum dari otonominya untuk secara bebas memilih cara-cara pengobatannya secara personal. Internet juga dapat mempunyai dampak positif menyangkut pemeliharaan kesehatan secara umum. Harga produk farmasi yang dapat lebih murah dapat meningkatkan ketersediaan bahkan bagi anggota masyarakat yang kurang beruntung. Internet juga dapat menjangkau daerah-daerah yang terpencil. Program pemerintah mengenai pelayanan universal yang akan membuat jangkauan Internet sampai ke desa-desa akan mendorong hal ini. Produk-produk yang ditawarkan juga dapat menjangkau orang yang mempunyai cacat tertentu yang biasanya mendapatkan kendala dalam berkomunikasi dengan apoteker. Internet juga dapat memfasilitasi pertukaran informasi diantara sesame professional, yaitu antara dokter dan apoteker dalam lingkungan yang lebih aman. Internet juga menjanjikan untuk penyebaran informasi produk-produk farmasi dan pemeliharaan kesehatan dan dapat memimpin pada manajemen pemeliharaan kesehatan. Para apoteker dapat menggunakan Internet untuk menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam standar pelayanan farmasi di apotik yaitu melakukan Promosi dan Edukasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
Terdapat banyak permalahan hukum menyangkut farmasi online, seperti resiko-resiko kesehatan dari obat yang salah atau obat bajakan, alergi yang mungkin dialami oleh konsumen yang tidak diketahui oleh farmasist ketika menawarkan obat secara online, interaksi dengan pengobatan lain yang sudah dilakukan oleh konsumen, formulasi obat-obatan yang mungkin berbeda dari satu Negara yang lain. Seorang apoteker dapat memberikan nasehat mengenai obat atau akibat samping dari obat, tetapi kecil kemungkinannya hal semacam itu ada dalam penjualan obat melalui Internet.
Departemen Kesehatan RI dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia sampai dengan saat ini belum menunjukkan posisinya mengenai farmasi online ini.

Perijinan
Khusus menyangkut perizinan, tidak begitu jelas apakah bagi apotik, apotik rakyat, dan toko obat eceran di Indonesia, apakah izin yang diberikan oleh dinas kabupaten/kota berlaku juga untuk mengadakan farmasi online. Empat apotik yang menyediakan transaksi secara elektronik tidak memberitahukan dalam situsnya bahwa izin yang dimiliki berlaku untuk di dunia maya. Apakah apotik, apotik rakyat, dan toko obat eceran disamping mendirikan usahanya di tempat tertentu juga diperkenankan untuk memperluasnya sampai menggunakan sarana Internet untuk menjangkau konsumen dan melakukan pelayanan secara langsung dan melakukan konsultasi obat secara online. Mengingat izin apotik, apotik rakyat, dan toko obat ecerean adalah untuk mendirikan apotik di suatu kabupaten/kota, apakah apotik, apotik rakyat, atau toko obat eceran di suatu kota, dengan menggunakan farmasi online, dapat secara langsung menjangkau konsumen di wilayah dimana izinnya berada?

Produk Farmasi
Produk farmasi yang beredar di Indonesia harus mempunyai surat izin edar. Salah satu apotik yang menyediakan transaksi elektronik secara tegas menyebutkan bahwa produk yang dijualnya teregristrasi di Indonesia. Terdapat satu apotik yang melakukan transaksi elektronik yang menyediakan juga produk yang terdaftar atau malah langka di Indonesia dan menjanjikan dapat menyediakan obat-obatan dari luar negeri.

Farmasi Online Luar Negeri:
Produk-produk luar negeri ditawarkan oleh salah satu penyedia jasa yang menjual produk-produk farmasi khusus produk Australia. Juga farmasi online yang didirikan di luar negeri apakah mereka dapat secara langsung menawarkan/mengedarkan menjual obat-obatan dan suplemen ke dalam negeri. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia mempersyaratkan bahwa agar dapat beredar di Indonesia, obat dan suplemen harus terdaftar di Indonesia dan memenuhi persyaratan pelabelan. Juga untuk keperluan periklanan produk-produk yang bersangkutan harus sudah mendapatkan izin edar di Indonesia. Dengan demikian akan menjadi persoalan apakah produk-produk yang dibuat diluar dapat ditawarkan secara langsung melalui media Internet dan dibeli melalui transaksi elektronik, dan yang pada dasarnya mengimpor obat-obatan/suplemen.
Penyedia jasa penjualan produ-produk Australia ini memang bukan Apotik. Mungkin temasuk toko obat eceran online terhadap produk luar negeri.

Ketentuan mengenai sifat dari kontrak
Pengiriman produk-produk obat merupakan tindakan kefarmasian dan harus dilakukan setelah menunukkan resep dokter. Kewajiban menunjukkan resep dokter merupakan kendala dalam pengembangan farmasi online. Penerimaan akan tandatangan elektronik dapat berdampak pada penggantian atas resep dokter yang asli. UU ITE menampung hal ini dimana dinyatakan bahwa jika suatu aturan mewajibkan harus tertulis dan asli maka hal ini dapat dipenuhi dengan hanya menunjukkan dokumen elektronik.
Privasi
UU ITE mengatur mengenai kewajiban melindungi data pribadi. Mengingat farmasi online mengumpulkan data-data pribadi dari konsumen maka para penyedia jasa farmasi online harus juga menyesuaikan praktek-praktek pengumpulan data pribadinya dengan memberitahukan hal itu kepada konsumen.

Kerahasiaan
Apoteker, sebagaimana diatur dalam Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik, diwajibkan memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Dan khusus untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.
Mengenai konsultasi obat yang dilakukan secara online maka para penyedia jasa harus benar-benar dapat menjaga kerahasiaan dari komunikasinya karena hal ini mungkin bertentangan dengan peraturan yang berlaku di bidang farmasi. Harus dijaga intersepsi dari pihak lain terhadap konseling yang dilakukan secara online.

Kesulitan Farmasi Online:
Yang mungkin sulit dilakukan dalam Farmasi Online adalah mengenai butir 1.2.7 dari Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik yang berbunyi:
1.2.7. Monitoring Penggunaan Obat.
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes , TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, saya piker pemerintah, dalam hal ini Menteri Kesehatan, BPOM, dan dinas-dinas kesehatan, serta Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, sesuai bidang masing-masing, perlu membuat penegasan mengenai boleh tidaknya izin apotik, apotik rakyat, dan toko obat diperluas hingga mencakup penyaluran obat melalui transaksi secara online. Penertiban juga perlu dilakukan menyangkut produk-produk farmasi yang ditawarkan di/ke Indonesia. Tentu disini perlu ditegaskan bahwa hokum yang menyangkut peredaran/periklanan produk-produk farmasi yang dijual di/ke Indonesia secara online juga tunduk pada ketentuan yang ada. Tata cara pelaksanaan farmasi online perlu diatur, yaitu menyangkut persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan dalam UU ITE dan kefarmasian diperlakukan secara ketat.
Dengan demikian kita dapat berharap agar ke depan apotik, apotik rakyat, dan toko obat eceran dapat menyediakan layanan farmasi online secara lebih berani dan lebih baik.

Rabu, 08 Juli 2009

Pilpres di kampungku

Sebagaimana diperkirakan, Pasangan SBY-Boediono menang telak dengan perolehan suara 270 suara di TPS 24 PPS Pondok Karya PPK Pondok Aren Tangerang. Pasangan Ibu Megawaty-Prabowo mendapatkan 75 suara dan Pasangan Bapak Jusuf Kalla-Wiranto mendapatkan 70 suara. 10 suara dinyatakan tidak sah. Suara tidak sah ini karena surat suara tidak dicontreng sama sekali (1 surat suara), ada yang mencontreng lebih dari satu kali dalam satu nomor, dan 2 surat suara dicontrengnya lebih dari satu pasangan capres. Salah satu surat suara yang dinyatakan tidak sah karena disamping mencontreng pada nomor 2, juga menuliskan “SBY, lanjutkan terus” pada bagian bawah. Jadi dianggap sah. Begitu bersemangatnya pemilih tersebut sampai suaranya dianggap tidak sah. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT pada TPS 24 tersebut sebanyak 668 pemilih. Menurut informasi ada 25 Orang pemilih yang menggunakan KTP.
Jadi tidak semua yang terdaftar dalam DPT memilih. Saya perhatikan nama-nama yang ada dalam DPT tidak ada yang double.
Suasana perhitungan suara cukup riuh dengan sorak-sorai dari ibu-ibu yang masih terlihat muda setiap kali dibacakan pilihan dalam surat suara. Dan pada akhir penghitungan suara, ibu-ibu itu terlihat sangat gembira dan bercakap-cakap sesama mereka dan berharap pemilihan hanya satu putaran saja. Semoga.....

Senin, 06 Juli 2009

Mahkamah Konstitusi Makin Jadi Aja

Dalam PUTUSAN Nomor 102/PUU-VII/2009 tanggal enam bulan Juli tahun dua ribu Sembilan, MK memutuskan bahwa KTP atau Paspor (bagi yang berada di luar negeri) yang masih berlaku dapat dijadikan sebagai bukti untuk memberikan suara dalam pemilu presiden, bagi mereka yang tidak terdaftar dalam DPT. Tentu ada ketentuan bahwa Pemegang KTP harus dilengkapi oleh Kartu Keluarga atau sejenisnya dan hal ini harus dilakukan di TPS di RT/RW di alamat yang disebutkan dalam KTP.
Sebelum memilih, Pemegang KTP atau Paspor harus mendaftarkan terlebih dahulu pada KPPS dan penggunaan hak memilih ini dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS Luar Negeri setempat.

Hal lain yang menarik perhatian adalah bahwa MK membuat putusan yang bersifat self executing yaitu putusan yang tidak memerlukan peraturan perundang-undangan untuk pelaksanaannya. MK MENYATAKAN:

[3.21] Menimbang bahwa pembenahan DPT melalui pemutakhiran data akan sangat sulit dilakukan oleh KPU mengingat waktunya yang sudah sempit, sedangkan penggunaan KTP atau Paspor yang masih berlaku untuk menggunakan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT merupakan alternatif yang paling aman untuk melindungi hak pilih setiap warga negara. Terkait dengan hal tersebut, Mahkamah memandang bahwa penggunaan KTP atau Paspor yang masih berlaku untuk memilih tidak dapat diberlakukan melalui keputusan atau peraturan KPU; sedangkan bentuk hokum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) juga beresiko menimbulkan masalah jika ternyata nantinya dibatalkan melalui legislative review pada saat pembahasan dalam masa sidang DPR berikutnya;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka demi keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum, Mahkamah memutuskan dalam Putusan yang bersifat self executing yang langsung dapat diterapkan oleh KPU tanpa memerlukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) guna melindungi, menjamin, dan memenuhi hak konstitusional warga negara untuk menggunakan hak pilihnya;

Lebih jauh MK menyatakan dasar hokum dari putusannya tersebut:
[3.22] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358), Mahkamah diwajibkan menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat;

Lalu MK menyatakan perlu untuk memerintahkan KPU:
[3.23] Menimbang bahwa sebelum memberikan Putusan tentang konstitusionalitas pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, agar di satu pihak tidak menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara dan di lain pihak tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Mahkamah perlu memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengatur lebih lanjut teknis pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT dengan pedoman sebagai berikut…….

Tentu kelak hal ini akan menjadi persoalan konstitusional apakah memang MK dapat membuat perintah kepada KPU dan apakah MK dapat membuat putusan yang bersifat self executing.

Jumat, 03 Juli 2009

Larangan terhadap Rokok Kretek di AS lanjutan

Dalam posting saya terdahulu mengenai larangan terhadap Rokok kretek di AS, Presiden Obama sudah menandatangani RUU tersebut dan sekarang menjadi undang-undang yang disebut sebagai Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act. FDA yang diberikan wewenang menyangkut pelaksanaan UU tersebut meminta komentar dari public mengenai pelaksanaan wewenangnya tersebut.

Televisi Protokol Internet

Pemerintah, dalam hal ini Depkominfo, telah selesai menyiapkan Rancangan Peraturan Menteri Kominfo Mengenai Penyelenggaraan Layanan Televisi Protokol Internet (IPTV) di Indonesia. Dalam siaran persnya dinyatakan, Pemerintah mengadakan konsultasi public hanya dalam waktu 3 hari, yaitu tanggal 16 s/d 19 Juni 2009. Berdasarkan komentar yang ada tersebut, maka dilakukan pembahasan dengan pelbagai pihak (tidak disebutkan) dan pada tanggal 1 Juli 2009 dilaporkan bahwa Rancangan Keputusan Menteri (selanjutnya disebut RPM saja), yang diharapkan dapat segera disahkan oleh Menteri Kominfo, yth. Prof. Muhammad Nuh.

Saya melihat Rancangan Keputusan Menteri tersebut agak sedikit dibuat terburu-buru. Tidak jelas target yang ditujunya. Pemilu Presiden akan diadakan tanggal 8 July 2009. Belum jelas siapa yang akan terpilih. Siapapun Presiden yang terpilih, Menteri tidak perlu terburu-buru membuat aturan yang akan mengikat dimasa mendatang.

Menyangkut materi RPM tersebut dapat diberi catatan:

Penyelenggara Televisi Protokol Internet adalah Konsorsium yang anggotanya terdiri dari sekurang-kurangnya 2 (dua) badan hukum Indonesia dan telah memiliki izin-izin yang diperlukan untuk penyelenggaraan layanan IPTV (Pasal 4 ayat (1) RPM).
Dari RPM tersebut dilihat bahwa konsorsiumlah yang memiliki izin-izin yang diperlukan untuk penyelenggaraan Layanan Televisi Protokol Internet. Izin-izin yang diperlukan itu disebutkan dalam ayat (2) Pasal 4, yaitu Izin Penyelenggaraan Jaringan Tetap Lokal, Izin Penyelenggaraan Jasa Multimedia Jasa Akses Internet (Internet Service Provider/ ISP), dan Izin Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan. Anggota konsorsium tidak harus memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tersebut (ayat 3). Ketentuan ayat (3) ini tidak cocok dengan dengan ayat (1) karena dalam ayat (1) terdapat kata “dan” yang berarti bahwa konsorsium itu memiliki sekurang-kurangnya dua anggota dan konsorsium itu telah memiliki izin-izin yang diperlukan. Hal ini akan berbeda jika yang digunakan adalah kata “yang”. Jika sekiranya kata “yang” dipakai, maka yang dimaksudkan tentulah badan-badan hokum anggota konsorsium itu yang mempunyai izin-izin. Dengan menggunakan “dan” dalam ayat (1) maka izin-izin yang diperlukan itu milik dari konsorsium. Kalau kata “yang’ dipakai dalam ayat (1) maka ayat (3) merupakan perluasan dimana dimungkinkan anggota yang tidak punya izin menjadi anggota konsorsium dan anggota konsorsium yang tidak punya izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak boleh menjadi ketua konsorsium (ayat (5)).

Anggota-anggota suatu konsorsium tidak boleh menjadi anggota konsorsium lain (ayat 4). Salah satu anggota diangkat menjadi ketua dan ketua ini harus yang mempunyai salah satu izin yang disebut dalam ayat (2).
Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa dasar hokum pendiriaan konsorsium adalah perjanjian kerjasama yang mengikat yang dikuatkan dengan Akta Notaris. Perjanjian tersebut akan menyebutkan peran dan tanggungjawab anggota konsorsium (Pasal 5 ayat (2).
Pasal 6 RPM mengatur kepemilikan saham pihak asing dalam anggota konsorsium, tetapi tidak begitu jelas maksudnya dan relevansinya.
Penyelenggara, yang adalah konsorsium, harus mempunyai izin penyelenggaraan Televisi Protokol Internet. Mengingat bentuk konsorsium tidak ada dalam hokum Indonesia sebagia suatu bentuk usaha, maka menjadi tidak senonoh memberikan konsorsium untuk mendapatkan izin.

Cakupan Penyelenggara:
Pasal 7 RPM menentukan Layanan IPTV terbatas pada:

a. layanan penyiaran (pushed services), yaitu layanan berupa siaran televisi baik itu siaran yang diterima oleh pelanggan sesuai dengan jadwal aslinya (linier) maupun siaran yang diterima oleh pelanggan pada waktu penerimaan yang diaturnya sendiri (non-linier), serta layanan Pay per View;

b. layanan multimedia (pulled services dan interactive services), yaitu layanan yang penyalurannya diberikan berdasarkan permintaan dari pelanggan;

c. layanan transaksi elektronik;

d. layanan akses internet untuk kepentingan publik;

Dihubungkan dengan Pasal 8 dan Pasal 9 RPM tersebut, Penyelenggara Televisi Protokol Internet tidak hanya memberikan layanan televise, tetapi juga layanan multi media, layanan trasaksi elektronik, dan lasanan ISP. Ini artinya bahwa Penyelenggara yang adalah konsorsium dimungkinkan bersaing dengan anggota-anggota konsorsium.

Pasal 10 dan 12 menentukan apa yang harus dimiliki oleh Penyelenggara. Mengingat penyelenggara adalah suatu konsorsium, yang dalam hokum Indonesia, tidak tercatat sebagai suatu badan hokum ataupun badan usaha, bagaimana ia dapat “memiliki”.

Banyak hal lain yang terdapat dalam RPM tersebut yang ganjil yang tidak perlu diurai lebih jauh disini. Saya kira RPM itu perlu dipikirkan lagi untuk diperbaharui sebagaimana mestinya.
Sebaiknya dipikir lagi lebih matang agar jangan sampai membuat peraturan yang tidak mengena dan yang pada akhirnya hanya sekedar kertas yang tiada berguna.