Rabu, 29 Juli 2009

Hak Jaksa Mengajukan PK

Dalam tulisan saya berjudul “Hak Jaksa Mengajukan PK dan Batasannya”, saya mengulas mengenai hak jaksa untuk mengajukan PK dan menyimpulkan bahwa jaksa berhak mengajukan PK sesuai Pasal 263 ayat (3) KUHAP. Dalam tulisan tersebut saya hanya menyitir mengenai Putusan MA dalam Negara v Muchtar Pakpahan, Negara v Pollycarpus, dan Negara v H. MULYAR bin SAMSI. Saya tidak menyinggung Putusan MA dalam Negara v JOKO SOEGIARTO TJANDRA (Putusan Mahkamah Agung Nomor 12PK/PIDSUS/2009 Tahun 2009) dan Negara v Syahril Sabirin (Putusan Mahkamah Agung Nomor 07PK/PIDSUS/2009 Tahun 2009), karena pada waktu menuliskan hal itu belum membaca kedua putusan MA tersebut. Setelah saya membaca kedua putusan yang terakhir, saya melihat bahwa pertimbangan hukum yang diberikan oleh MA semakin jauh dari yang ditentukan oleh KUHAP.
Pasal 263 ayat (3) KUHAP memberikan hak atau wewenang kepada Jaksa untuk mengajukan PK tetapi hal itu sangat terbatas hanya terhadap putusan yang “dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa perbuatan yang didakwakan dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”. Hal ini berarti bahwa dalam keseluruhan PK yang diajukan oleh jaksa, MA seharusnya menolak mengabulkan permintaan PK tersebut.
Dalam dua putusan terakhir yang saya sebut di atas, terdapat dissenting opinion, yang menolak untuk mengabulkan permintaan PK jaksa. Namun demikian dissenting opinion tersebut tidak membantu meluruskan dalam hal-hal apa jaksa dapat mengajukan PK. Dissenting Opinion yang ada meneguhkan pandangan bahwa KUHAP tidak mengatur PK oleh jaksa.
Pertimbangan MA dalam Negara v JOKO SOEGIARTO TJANDRA dan Negara v Syahril Sabirin sangatlah tidak masuk akal dan karena itu tidak dapat dibenarkan dalam kerangka berpikir KUHAP. MA dalam kasus-kasus itu seharusnya menolak permohonan Jaksa karena sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (3) putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang dipersoalkan "tidak ada memuat pertimbangan bahwa perbuatan yang didakwakan telah terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan." Setelah gagal menemukan landasan hukum yang jelas dalam KUHAP, MA mendasarkan diri pada pertimbangan kepentingan umum. Tidak jelas kepentingan umum yang mana yang memperbolehkan MA untuk menerima permohonan PK yang diajukan oleh jaksa dalam kedua kasus tersebut dan dalam hal apa serta sejauh mana pertimbangan kepentingan umum harus mengesampingkan bunyi undang-undang.

Pendapat Mahkamah Konstitusi
Prof. DR. Komariah E. Sapardjaja, SH , Hakim Agung, yang memberikan dissenting opinion dalam Negara v Syahril Sabirin tersebut, menyitir pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 16/PUU-VI/2008. MK juga berpandangan bahwa Jaksa tidak berwenang mengajukan PK. MK menyatakan dalam halaman 52 dari Putusannya:

: “....proses yang panjang yang telah dilalui mulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan putusan peradilan di tingkat pertama, banding dan kasasi, dipandang telah memberikan kesempatan yang cukup bagi Jaksa/Penuntut Umum menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk membuktikan kesalahan Terdakwa. Oleh karena itu, dipandang adil jikalau pemeriksaan peninjauan kembali tersebut dibatasi hanya bagi Terpidana atau ahli warisnya karena Jaksa/Penuntut Umum dengan segala kewenangannya dalam proses peradilan dalam tingkat pertama, banding dan kasasi, dipandang telah memperoleh kesempatan yang cukup. Jikalau benar bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang limitatif tersebut dipandang tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat karena terjadinya pergeseran dalam paradigma yang dianut, maka ketentuan hukum dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebutlah yang harus diubah dan disesuaikan terlebih dahulu dengan kesadaran hukum baru yang berkembang dan hidup dalam masyarakat melalui proses legilisasi “

Mahkamah Konstitusi hanya melihat pada Pasal 263 ayat (1) untuk berpendirian bahwa jaksa tidak mempunyai wewenang untuk mengajukan PK. MK terkecoh dengan pendirian bahwa jaksa tidak berwenang mengajukan PK tanpa melakukan pemeriksaan terhadap keseluruhan Pasal 263.

Jika sekiranya Pasal 263 ayat (3) KUHAP dibaca dengan teliti maka MK tidak akan membuat pertimbangan sedemikian dan MA juga tentu tidak akan menerima PK yang diajukan oleh jaksa tersebut dan tidak perlu sampai menyitir Penjelasan Pasal 49 Undang Undang nomor 5 tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan menyangkut pengertian dari kepentingan umum untuk membenarkan PK oleh jaksa.
Saya pikir perlu ditatar agar para penegak hukum menafsirkan undang-undang secara benar dan mentaatinya.

1 komentar:

  1. jadi hak jaksa itu hanya itu saja pak???
    saya kalau kewajobannya jaksa itu apa paK???

    BalasHapus