Kamis, 23 Juli 2009

Putusan MK soal Pasal 160 KUHP

Dalam perkara yang diajukan Dr. Rizal Ramli yang meminta pembatalan Pasal 160 KUHP, Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil kesimpulan dalam PUTUSAN Nomor 7/PUU-VII/2009 yang dibuat dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Selasa tanggal empat belas bulan Juli tahun dua ribu sembilan, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal dua puluh dua bulan Juli tahun dua ribu sembilan, bahwa “Pasal 160 KUHP adalah conditionally constitutional dalam arti konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil” (Lihat Para [4.3]). Sehubungan dengan kesimpulan MK tersebut, MK mengadili bahwa Permohonan Dr. Rizal Ramli tersebut ditolak. Dalil-dalil yang disampaikan oleh Dr. Rizal Ramli keseluruhannya ditolak oleh MK. Dalam pertimbangannya MK menyatakan:

“Bahwa meskipun pasal a quo lahir pada masa kolonial Belanda, tetapi menurut Mahkamah substansi norma yang terkandung dalam pasal a quo tetap sejalan dengan prinsip-prinsip negara yang berdasarkan hukum karena norma yang dikandung dalam pasal a quo memuat prinsip universal yang tidak mungkin dinegasikan oleh negara-negara beradab yang menjunjung tinggi hukum. Nilai hukum yang hendak dilindungi adalah memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dari perbuatan menghasut supaya orang lain melakukan perbuatan pidana, menghasut orang supaya melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, atau tidak menuruti perintah Undang-Undang atau perintah jabatan.”

Namun demikian MK berpendirian bahwa:

“Menurut Mahkamah, walaupun pasal a quo berasal dari warisan kolonial Belanda, namun substansinya yang bersifat universal, yakni melarang orang menghasut untuk melakukan tindak pidana, masih tetap sesuai dengan kebutuhan hukum Indonesia saat ini. Meskipun demikian, dalam penerapannya, pasal a quo harus ditafsirkan sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil.” (lihat Para [3.14.1]

Hal ini tentu menimbulkan persoalan dalam praktek. Dengan menolak permohonan Dr. Rizal Ramli dalam kasus tersebut berarti bahwa Pasal 160 adalah konstitusional dan masih berlaku. Namun kesimpulan MK bahwa Pasal 160 konstitusional sepanjang ditafsirkan sebagai delik materiil merupakan sesuatu yang aneh.
Dalam perkara tersebut dihadirkan dua orang saksi ahli, yang adalah pakar dalam bidang hukum pidana, yaitu Prof. Dr. J.E. Sahetapy dan Dr. Rudy Satrio. Kedua ahli ini berbeda pandangan mengenai Pasal 160. Menurut Prof. Sahetapy, Pasal 160 adalah delik materiil (Kesimpulan butir 4 hlm. 33 putusan MK) sedangkan Dr. Rudy Satrio berpandangan bahwa Pasal 160 adalah delik formil (hlm 35 Putusan MK).

MK tidak mempertimbangkan persoalan delik formil-materiil ini secara mendalam. Jika pendapat Rudy Satrio, bahwa Pasal 160 adalah delik formil, diikuti maka Pasal 160 adalah inkonstitusional. Jika pendapat Prof. Sahetapy, bahwa Pasal 160 adalah delik materiil, yang diikuti maka, menurut MK, Pasal 160 adalah konstitusional. Tentu hal ini menjadi persoalan siapa mengikuti pandangan bahwa Pasal 160 termasuk delik formil dan siapa yang mengikuti pandangan bahwa Pasal 160 adalah delik materiil. Persoalan apakah suatu delik adalah delik formil atau materiil tidak ditentukan secara tersurat dalam KUHP. Bahwa suatu delik adalah delik formil atau materiil disimpulkan dari perumusan delik yang bersangkutan. Untuk keperluan perkara pidana, harus dibuktikan unsur-unsur delik.
Jadi MK tidak ada mengubah ketentuan dalam Pasal 160 KUHP.

Untuk keperluan penyidikan, tentu penyidik akan berpegang pada amar putusan MK yang menolak permohonan dari Dr. Rizal ramli tersebut dan hal ini mempunyai konsekwensi bahwa Pasal 160 adalah konstitusional dan masih berlaku, tanpa perlu menghiraukan putusan MK bahwa yang konstitusional adalah bahwa Pasal 160 adalah delik materiil.



Catatan: Sebelumnya, Pasal 160 KUHP juga pernah dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi oleh Dr. R. PANJI UTOMO tetapi ditolak oleh MK dengan alasan Dr. R. PANJI UTOMO tidak mempunyai legal standing untuk memohonkan pengujian atas Pasal 160 tersebut (Lihat Putusan MK No. 6/PUU-V/2007).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar