Minggu, 30 Agustus 2009

Bendera Negara

Barangkali banyak yang berpendirian bahwa persoalan bendera, baik ukuran, pengibaran, lebih merupakan suatu persoalan upacara dan tidak perlu dipusingkan. Undang-undang No. 24 tahun 2009 dimaksudkan untuk menghentikan cara pandang demikian. UU No. 24 tahun 2009 mengatur tentang Bendera, Lambang Negara, Bahasa Negara dan Lagu Kebangsaan. Salah satu asas yang dikandung dalam UU No. 24 tahun 2009 adalah asas ketertiban, yang dalam Penjelasan UU diberi makna bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam Penggunaannya. Dengan demikian maka kita melihat perlunya ketertiban dalam penggunaan baik menyangkut ukuran, warna dan penggunaannya.
Tidak jarang kita lihat bahwa dalam penggunaan Bendera Negara tidak tertib. Dengan adanya UU ini maka dapat diharapkan Bendera Negara akan digunakan secara tertib. Misalnya, penggunaan representasi Bendera Negara dalam Situs Web Presiden RI, sudah tidak sesuai dengan UU ini. Demikian juga dengan penggunaan lainnya yang tidak perlu saya sebutkan satu persatu dalam pengantar tulisan ini.
Pasal 65 UU No. 24 tahun 2009 menetapkan adanya hak dan kewajiban untuk memelihara, menjaga, dan menggunakan Bendera Negara, Bahasa Indonesia, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan untuk kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negara sesuai dengan Undang-Undang ini.
BENDERA NEGARA
UU menentukan adanya Bendera Negara Sang Merah Putih, Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih, dan bendera yang merepresentasikan Bendera Negara.
Bendera Negara Sang Merah Putih
Menurut Pasal 4 Ayat (1) Bendera Negara Sang Merah Putih berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang serta bagian atas berwarna merah dan bagian bawah berwarna putih yang kedua bagiannya berukuran sama. Bendera Negara dibuat dari kain yang warnanya tidak luntur (Ayat 2). Menurt Ayat (3) Pasal 4 Bendera Negara dibuat dengan ketentuan ukuran:
a. 200 cm x 300 cm untuk penggunaan di lapangan istana kepresidenan;
b. 120 cm x 180 cm untuk penggunaan di lapangan umum;
c. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di ruangan;
d. 36 cm x 54 cm untuk penggunaan di mobil Presiden dan Wakil Presiden;
e. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di mobil pejabat negara;
f. 20 cm x 30 cm untuk penggunaan di kendaraan umum;
g. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kapal;
h. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kereta api;
i. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di pesawat udara;
j. 10 cm x 15 cm untuk penggunaan di meja.
Penjelasan Pasal 4 Ayat (1) menjelaskan bahwa:
Warna merah adalah warna merah jernih yang secara digital mempunyai kadar MHB (Merah Hijau Biru) atau RGB (Red Green Blue): merah 255, hijau 0, dan biru 0. Warna merah telah lama dikenal dalam mitologi, kesusasteraan, dan sejarah Nusantara. Warna ini melambangkan keberanian.
Warna putih adalah warna putih tanpa gradasi secara digital mempunyai kadar MHB: merah 255, hijau 255, dan biru 255. Warna putih telah lama dikenal dalam mitologi, kesusasteraan, dan sejarah Nusantara. Warna ini melambangkan kesucian.
Bendera yang Merepresentasikan Bendera Negara
Pasal 4 Ayat (4) menentukan mengenai bendera yang merupakan representasi Bendera Negara, yang dapat dibuat dari bahan yang berbeda dengan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ukuran yang berbeda dengan ukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan bentuk yang berbeda dengan bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penjelasan Pasal 4 Ayat (4) berbunyi:
Yang dimaksud dengan “bahan yang berbeda” misalnya kertas, plastik, dan alumunium.
Yang dimaksud dengan ”ukuran yang berbeda” adalah besar kecilnya bendera.
Yang dimaksud dengan”bentuk yang berbeda” adalah bentuk bendera yang tidakmengikuti bentuk persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang, misalnya bentuk segitiga, bujur sangkar, trapesium, jajaran genjang, dan lingkaran.
Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih
Pasal 5 UU No. 24 tahun 2009 menentukan:
(1) Bendera Negara yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih.
(2) Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta.
Kewajiban Mengibarkan Bendera Negara
Pasal 6 menentukan bahwa Penggunaan Bendera Negara dapat berupa pengibaran dan/atau pemasangan. Pasal 7 Ayat (1) Pengibaran dan/atau pemasangan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan pada waktu antara matahari terbit hingga matahari terbenam. Namun Ayat (2) menentukan juga bahwa dalam keadaan tertentu pengibaran dan/atau pemasangan Bendera Negara dapat dilakukan pada malam hari. Tidak dijelaskan batasan “malam”. Dalam penggunaan ada yang disebut subuh. Apakah bendera dapat dikibarkan pada subuh? Tidak dijelaskan dalam undang-undang. Mungkin juga untuk keperluan undang-undang ini, yang disebut malam adalah antara terbenamnya matahari sampai terbitnya matahari. Keadaan-keadaan tertentu disebutkan dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) yaitu:
a. keadaan mengobarkan semangat patriotisme membela tanah air;
b. keadaan menghormati kunjungan kepala negara atau pemerintahan negara lain;
c. darurat perang;
d. perlombaan olah raga;
e. renungan suci;
f. keadaan sangat bersuka cita; atau
g. keadaan sangat berduka cita.
Mulai Pasal 7 Ayat (3) ditentukan kewajiban mengibarkan Bendera Negara, yaitu pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus oleh warga negara yang menguasai hak penggunaan rumah, gedung atau kantor, satuan pendidikan, transportasi umum, dan transportasi pribadi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Kewajiban ini ditegaskan dalam Pasal 7 Ayat (4) dimana Pemerintah Daerah memberikan Bendera Negara kepada warga Negara Indonesia yang tidak mampu.
Kewajiban mengibarkan Bendera Negara pada tanggal 17 Agustus ini hanya berlaku bagi warga Negara Indonesia. Bagi orang asing yang tinggal di Indonesia dan mempunyai hak penguasaan atas rumah, gedung, dan lain-lain tidak ada kewajiban untuk mengibarkan Bendera Negara.
Pasal 7 Ayat (5) menentukan bahwa Selain pengibaran pada setiap tanggal 17 Agustus, Bendera Negara dikibarkan pada waktu peringatan hari-hari besar nasional atau peristiwa lain. Pengaturan mengenai hal ini akan dilakukan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan kesekretariatan Negara dan dalam hal di daerah diatur oleh kepala daerah (Pasal 8).
Pasal 9 Ayat (1) mengatur mengenai kewajiban untuk mengibarkan bendera setiap hari, yaitu di:
a. istana Presiden dan Wakil Presiden;
b. gedung atau kantor lembaga negara;
c. gedung atau kantor lembaga pemerintah;
d. gedung atau kantor lembaga pemerintah nonkementerian;
e. gedung atau kantor lembaga pemerintah daerah;
f. gedung atau kantor dewan perwakilan rakyat daerah;
g. gedung atau kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
h. gedung atau halaman satuan pendidikan;
i. gedung atau kantor swasta;
j. rumah jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
k. rumah jabatan pimpinan lembaga negara;
l. rumah jabatan menteri;
m. rumah jabatan pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian;
n. rumah jabatan gubernur, bupati, walikota, dan camat;
o. gedung atau kantor atau rumah jabatan lain;
p. pos perbatasan dan pulau-pulau terluar di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
q. lingkungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia; dan
r. taman makam pahlawan nasional.
UU menentukan penggunaan yang dapat berbeda dari ketentuan Pasal 9 Ayat (1) bagi penggunaan di lingkungan TNI dan Polri dengan berpedoman pada UU ini (Pasal 9 Ayat (2). Demikian juga penggunaan di luar negeri dapat diatur tersendiri dan dengan memperhatikan ketentuan hokum setempat (Pasal 9 Ayat (3) dan (4).
Pasal 10 lebih lanjut mengatur mengenai kewajiban memasang Bendera Negara, yaitu pada:
a. kereta api yang digunakan Presiden atau Wakil Presiden (disebelah kanan kabin masinis);
b. kapal milik Pemerintah atau kapal yang terdaftar di Indonesia pada waktu berlabuh dan berlayar (di tengah anjungan kapal); atau
c. pesawat terbang milik Pemerintah atau pesawat terbang yang terdaftar di Indonesia (di sebelah kanan ekor pesawat terbang).
UU menentukan bahwa tata cara pemasangan Bendera Negara diatur dengan Peraturan Presiden.
Penggunaan Bendera yang tidak diwajibkan
Setelah mengatur mengenai kewajiban mengibarkan atau memasang Bendera Negara dari Pasal 7-10, UU pada Pasal 11 mengatur mengenai pengibaran atau pemasangan Bendera Negara yang tidak diwajibkan. Pasal 11 berbunyi:
(1) Bendera Negara dapat dikibarkan dan/atau dipasang pada:
a. kendaraan atau mobil dinas;
b. pertemuan resmi pemerintah dan/atau organisasi;
c. perayaan agama atau adat;
d. pertandingan olahraga; dan/atau
e. perayaan atau peristiwa lain.
(2) Bendera Negara dipasang pada mobil dinas Presiden, Wakil Presiden, Ketua Majelis Permusyawatan Rakyat, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, menteri atau pejabat setingkat menteri, Gubernur Bank Indonesia, mantan Presiden, dan mantan Wakil Presiden sebagai tanda kedudukan.
(3) Bendera Negara sebagai tanda kedudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipasang di tengah-tengah pada bagian depan mobil.
(4) Dalam hal pejabat tinggi pemerintah negara asing menggunakan mobil yang disediakan Pemerintah, Bendera Negara dipasang di sisi kiri bagian depan mobil.
Penggunaan Bendera Negara sebagai Tanda
Pasal 12
(1) Bendera Negara dapat digunakan sebagai:
a. tanda perdamaian;
b. tanda berkabung; dan/atau
c. penutup peti atau usungan jenazah.
Larangan
Setelah menguraikan soal-soal tersebut di atas, dalam Pasal 24 ditentukan mengenai larangan menyangkut Bendera Negara. Pasal 24 berbunyi:
Setiap orang dilarang:
a. merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara;
b. memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial;
c. mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam;
d. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara; dan
e. memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara.
Dalam Penjelasan Pasal 24 ditentukan bahwa Bendera Negara dalam ketentuan ini termasuk representasi Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Sanksi Pidana
Jika perbuatan-perbuatan yang dilarang dilanggar maka terdapat sanksi pidana.sebagaimana diatur dalam Pasal 66 dan Pasal 67.
Pasal 66
Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 67
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang:
a. dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b;
b. dengan sengaja mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c;
c. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 huruf d;
d. dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e.
Pasal 66 tidak menyebutkan kata “sengaja”. Namun demikian perbuatan-perbuatan yang disebutkan dalam Pasal tersebut sudah barang tentu harus yang disengaja, karena Pasal tersebut mencantumkan bahwa perbuatan-perbuatan yang dilarang itu dilakukan dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara. Hanya perlu diperhatikan, bahwa dalam pembuktian mengenai adanya maksud untuk  menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara harus diperiksa secara cermat. Jika memang tidak ada maksud untuk menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara, maka tentu dapat lolos dari sanksi itu.
Menarik perhatian saya bahwa dalam Pasal 67 butir c tidak ada kata sengaja atau tidak ada disebutkan mengenai maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara. Hal ini berbeda dengan butir a, b, dan d. Hal ini berarti bahwa jika pada Bendera Negara ada tambahan warna atau tulisan, gambar, dan lain-lain maka hal itu dapat dikenai  pidana dengan tidak mempersoalkan apa maksud dari tambahan pada Bendera Negara tersebut. Sesuai dengan Penjelasan Pasal 24, hal ini tentu berlaku juga terhadap bendera yang merepresentasikan Bendera Negara.

LIRIK LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA

Berikut ini adalah lirik lagu Indonesia Raya sebagaimana terdapat dalam Lampiran UU No. 24 Tahun 2009

LIRIK LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
VERSI ASLI DENGAN TIGA STANZA

Stanza 1:
Indonesia Tanah Airkoe Tanah Toempah Darahkoe
Di sanalah Akoe Berdiri Djadi Pandoe Iboekoe
Indonesia Kebangsaankoe Bangsa Dan Tanah Airkoe
Marilah Kita Berseroe Indonesia Bersatoe


Hidoeplah Tanahkoe Hidoeplah Negrikoe
Bangsakoe Ra'jatkoe Sem'wanja
Bangoenlah Djiwanja Bangoenlah Badannja
Oentoek Indonesia Raja


(Reff: Diulang 2 kali, red)


Indonesia Raja Merdeka Merdeka Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Hidoeplah Indonesia Raja

Stanza 2:
Indonesia Tanah Jang Moelia Tanah Kita Jang Kaja
Di sanalah Akoe Berdiri Oentoek Slama-Lamanja
Indonesia Tanah Poesaka P'saka Kita Semoeanja
Marilah Kita Mendo'a Indonesia Bahagia


Soeboerlah Tanahnja Soeboerlah Djiwanja
Bangsanja Ra'jatnja Sem'wanja
Sadarlah Hatinja Sadarlah Boedinja
Oentoek Indonesia Raja


(Reff: Diulang 2 kali, red)


Indonesia Raja Merdeka Merdeka Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Hidoeplah Indonesia Raja


Stanza 3:
Indonesia Tanah Jang Seotji Tanah Kita Jang Sakti
Di sanalah Akoe Berdiri 'Njaga Iboe Sedjati
Indonesia Tanah Berseri Tanah Jang Akoe Sajangi
Marilah Kita Berdjandji Indonesia Abadi


S'lamatlah Ra'jatnja S'lamatlah Poetranja
Poelaoenja Laoetnja Sem'wanja
Madjoelah Negrinja Madjoelah Pandoenja
Oentoek Indonesia Raja


(Reff: Diulang 2 kali, red)


Indonesia Raja Merdeka Merdeka Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Hidoeplah Indonesia Raja

Lambang Negara RI

Lampiran UU No. 24 tahun 2009
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia
Warna:
Warna Merah : MHB (RGB) : merah 255, hijau 000, dan biru 000
Warna Putih : MHB (RGB) : merah 255, hijau 255, dan biru 255
Warna Kuning Emas : MHB (RGB) : merah 255, hijau 255, dan biru 000
Warna Hitam : MHB (RGB) : merah 000, hijau 000, dan biru 000
Perbandingan Ukuran:
Jarak A – B = 12
Jarak C – D = 13 ½
Jarak E – F = 16
Jarak G –H = 15 ½
Jarak I – J = 17

Rabu, 26 Agustus 2009

Kretek: Pertanyaan Indonesia di WTO

Sebagaimana kelanjutan dari posting terdahulu, yaitu Larangan terhadap Rokok Kretek di AS lanjutan Dan Larangan terhadap Rokok Kretek di AS, pemerintah Indonesia telah mengajukan melalui Komite TBT WTO, sejumlah pertanyaan kepada pemerintah Amerika Serikat mengenai larangan impor rokok kretek di Amerika Serikat, dalam komunikasi bertanggal 17 Agustus 2009 dan diedarkan 20 Agustus 2009 dalam dokumen G/TBT/W/323. (Terjemahan bebas).

Tampak ini akan menjadi perjalanan panjang. Sepertinya AS tidak mudah mengubah undang-undangnya dan kemungkinan proses penyelesaian sengketa melalu WTO dapat terjadi. Dalam daftar pertanyaannya Indonesia masih menyebut Bill pada hal aturan yang menjadi persoalan tersebut sudah merupakan undang-undang.
Dalam komunikasinya tersebut, Indonesia mengemukakan issu-issu hukum dan mengajukan pertanyaan menyangkut Pasal 907 Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act tersebut. Menurut Indonesia, Pasal 907 UU tersebut dapat dipersoalkan di bawah Perjanjian Hambatan Teknis Perdagangan, Perjanjian SPS, dan GATT 1994 dari WTO. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah:


(a) Pasal 907 melarang rokok atau setiap komponennya mengandung rasa alami atau rasa buatan (selain tembakau atau mentol) atau herbal atau rempah-rempah. Mengapa mentol dipilih sebagai satu-satunya rasa, ramuan, atau rempah-rempah dikecualikan dari aturan ini.
(b) Kita mengetahui bahwa rokok kretek adalah industri penting di Indonesia. Apakah rokok kretek juga diproduksi di dalam negeri di Amerika Serikat?
(c) Pasal 907 lebih lanjut menunjukkan bahwa larangan atas rasa alami atau buatan, herbal atau rempah-rempah berlaku jika itu adalah "cita rasa" dari produk tembakau atau asap tembakau. Namun, rancangan undang-undang tidak mendefinisikan unsur-unsur yang merupakan suatu "cita rasa”. Bagaimana FDA merencanakan untuk menafsirkan konsep "cita rasa"?
(d) Rokok mengandung banyak bahan-bahan selain tembakau. Di bawah Pasal 907, bagaimana bisa membedakan bahan tertentu dari "cita rasa?
(e) Menthol adalah rasa buatan yang berasal dari mint, yang jelas merupakan herbal atau rempah-rempah. Apakah Amerika Serikat percaya bahwa rokok menthol akan berada di bawah ketentuan Pasal 907 dan akan dilarang tanpa adanya pengecualian yang diberikan RUU?
(f) Secara fisik, keduanya rokok cengkeh dan rokok mentol mengandung tembakau dengan zat tambahan bumbu herbal dengan sifat menenangkan. Penggunaan akhir keduanya baik rokok cengkeh maupun rokok mentol adalah sama, yaitu, keduanya digunakan untuk mengisap tembakau. Apakah Amerika Serikat percaya bahwa rokok kretek dan rokok mentol produk sejenis?
(g)tujuan utama dari RUU, seperti yang dinyatakan dalam pertimbangan-pertimbangan RUU, adalah untuk mengurangi insiden merokok bagi remaja. Temuan-temuan lebih lanjut menunjukkan bahwa aturan-aturan tambahan mengenai produk-produk tembakau dan pemasaran tembakau pemasaran adalah perlu untuk mencegah remaja di bawah umur untuk memperoleh rokok. Namun, bukti yang tersedia pada kami menunjukkan bahwa lebih banyak remaja merokok rokok mentol daripada kretek. Apakah Anda mengetahui data sebaliknya yang mengindikasikan rokok cengkeh digunakan oleh remaja dan kuantitas lebih besar daripada mentol?
(h) WTO mengizinkan anggota untuk mengambil tindakan-tindakan untuk melindungi kesehatan manusia, tetapi tindakan-tindakan harus didasarkan pada bukti ilmiah. apakah anda mengetahui adanya studi ilmiah yang menunjukkan bahwa rokok kretek menimbulkan risiko kesehatan lebih besar daripada rokok menthol?
(i) Beberapa rasa rokok lain yang akan dilarang oleh Pasal 907 (misalnya, cherry, strawberry, coklat) yang dibuat dan dipasarkan untuk memikat kaumremaja. Rokok kretek telah dijual selama puluhan tahun dan tidak dipasarkan untuk kaum remaja Rokok kretek dijual utamanya melalui toko-toko tembakau khusus. Apakah Anda mengetahui tentang periklanan rokok kretek yang spesifik yang dipandang dengan target atau memikat kaum remaja ?
(j) Rokok kretek selain dari rasa mentol dilarang di bawah Pasal 907. Rokok menthol akan tunduk pada studi dan regulasi oleh FDA. Mengapa perlu untuk melarang rokok rasa lain tetapi hanya perlu untuk mempelajari dan mengatur rokok menthol?

Sabtu, 22 Agustus 2009

Keterlibatan TNI dalam mengatasi Terorisme: Perlu persetujuan DPR

Sepak terjang Noor Din M Top yang disebut-sebut sebagai teroris nomor wahid rupanya membuat gatal tangan pihak-pihak yang menginginkan agar tentara dilibatkan. Kegagalan (mungkin juga sengaja digagalkannya) pihak kepolisian mengatasi teroris, seperti aksi yang baru-baru ini yang gagal di Temanggung, memicu perdebatan dimana Presiden dikesankan ngotot untuk melibatkan TNI. Tentara tampaknya diojok-ojok atau mungkin meminta-minta untuk kembali ke masa lalu untuk terlibat dalam urusan penegakan hukum. Sebagaimana dilaporkan, dalam berita yang sama, beberapa waktu sebelumnya Markas Besar TNI Angkatan Darat melalui Kepala Dinas Penerangannya, Brigjen Christian Zeboa, menegaskan institusinya memiliki kemampuan-kemampuan tempur, intelijen, dan penjinakan bahan peledak, yang sayang jika dibiarkan dalam kondisi idle seperti sekarang. Letjend (Purn) Agus Widjodjo meminta Presiden dan TNI terlebih dahulu secara rinci mempelajari Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Saya pikir apa yang dinyatakan Agus Widjojo sudah selayaknya bahwa perlu dilihat landasan hukum bagi TNI untuk hal ini. Pasal 7 UU TNI menentukan:
(1) Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
(2) Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan :
a. Operasi militer untuk perang.
b. Operasi militer selain perang, yaitu untuk :
1.
2.
3. mengatasi aksi terorisme;
4. ……..
Dst
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.

Sebagaimana dinyatakan oleh Agus Widjojo, sebelum mengerahkan TNI Presiden harus memperhatikan ayat (3) Pasal 7 tersebut. Namun demikian sesungguhnya tidak cukup hanya melihat Pasal 7 tersebut. Pasal 20 UU TNI menyatakan:
(1) ….
(2) Penggunaan kekuatan TNI dalam rangka melaksanakan operasi militer selain perang, dilakukan untuk kepentingan pertahanan negara dan/atau dalam rangka mendukung kepentingan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) …………..

Pengerahan TNI dalam pemberantasan terorisme, sebagaimana diperkenankan oleh Pasal 7 ayat (2), ini adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) UU TNI.

Selanjutnya Pasal 17 UU TNI menentukan:

(1) Kewenangan dan Tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden.
(2) Dalam hal pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Melihat pada ketentuan dalam Pasal 17 kita menyaksikan bahwa diperlukan Persetujuan DPR. Tidak ditentukan dalam UU TNI kapan dan dengan cara bagaimana persetujuan DPR tersebut diberikan. Yang patut dicatat adalah bahwa ketentuan dalam Pasal 17 berlaku dalam keadaan tidak memaksa. Dalam keadaan memaksa, Pasal 18 UU TNI menentukan:
(1) Dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI.
(2) Dalam hal pengerahan langsung kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam waktu 2 X 24 jam terhitung sejak dikeluarkannya keputusan pengerahan kekuatan,
Presiden harus melaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui pengerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Presiden harus menghentikan pengerahan kekuatan TNI tersebut.

Tinggal sekarang persoalannya adalah apakah keadaan sudah sedemikian genting sehingga TNI harus dilibatkan. Pihak kepolisian sendiri tidak menyatakan menyerah dan belum memberikan tanggapan atas kemungkinan dilibatkannya tentara ini. Jika memang keadaannya sudah sedemikian memaksa maka ketentuan dalam Pasal 18 berlaku. Jika ternyata keadaan belum memaksa maka ketentuan dalam Pasal 17 harus diindahkan.
Tambahan:
(5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang. (Cetak miring dari penulis)

Dengan demikian dalam upaya bela Negara harus mengindahkan undang-undang TNI yang sudah mengaturnya sebagaimana disebutkan di atas, yaitu perlu persetujuan DPR. (ditambahkan 25 Agustus 2009)

Senin, 17 Agustus 2009

Bahasa Jawa di Pemprov DI Yogyakarta

Dalam situs web pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta diberitakan bahwa seluruh pegawai di seluruh lingkungan dinas di pemerintah Provinsi DIY serta kabupaten/kota akan menggunakan bahasa Jawa dalam aktifitas sehari-hari (Yogyakarta,15/8/2009 (pemda-diy.go.id). Hal ini hanya akan berlangsung tiap hari sabtu.

“ Itu khan sebenarnya sudah jauh hari lalu diterapkan khususnya di tingkat kabupaten/kota tapi beda-beda harinya. Nah, mulai besok itu diseragamkan tiap hari Sabtu semua,” ujar Sultan usai menghadiri pidato kenegaraan SBY di DPRD DIY, Jumat (14/8/2009).
Menurut Sri Sultan penggunaan bahasa Jawa dalam aktifitas sehari-hari ini merupakan bentuk penghargaan atas nilai-nilai budaya masyarakat Jawa. Apalagi sejak Indonesia belum merdeka masyarakat Jawa sudah memiliki tradisi sendiri, filosofi sendiri, cara berbusana sendiri, maupun makanan sendiri.
“ Langkah ini sebagai bentuk penghargaan nilai-nilai budaya masyarakat Jawa yang sudah lama diajarkan oleh para orang tua kita,” tuturnya.
Lebih lanjut dari berita tersebut:

Sebelumnya Kepala Biro Umum, Humas, dan Protokol Pemprop DIY Sigit Sapto Raharjo menjelaskan bahwa aturan penggunaan bahasa Jawa ini utamanya untuk komunikasi lisan. Sedang untuk komunikasi tertulis secara formal tetap menggunakan bahasa Indonesia , mengingat jika menggunakan bahasa Jawa dibutuhkan pedoman dan kaidah-kaidah yang perlu dipelajari. Sedang jika surat-surat tidak formal, bisa dimulai dengan bahasa Jawa.
”Misalnya memo kepala kepada stafnya, bisa saja menggunakan bahasa Jawa,” kata Sigit (Krn/Rsd)
Sebagaimana sebelumnya saya tulis, UU No. 24 tahun 2009 mengatur mengenai kewajiban menggunakan bahasa Indonesia. Yang diwajibkan, yang relevan dalam konteks ini, adalah untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam layanan public di instansi pemerintahan (Pasal 30) dan komunikasi resmi dalam lingkungan kerja pemerintah dan swasta. Undang-undang tidak mendefenisikan apa yang dimaksud dengan “komunikasi resmi”.
Saya melihat apa yang dilakukan oleh Pemprov DIY tidak menyalahi UU tersebut. Pasal 42 UU No. 24 tahun 2009 tersebut berbunyi:

(1) Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
(2) Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Upaya yang dilakukan Pem di DIY ini perlu mendapat apresiasi mengingat Indonesia banyak memiliki warisan budaya berupa bahasa yang perlu dikembangkan, dibina, dan dilindungi. Dalam posting saya terdahulu, saya sudah menggarisbawahi hal ini dengan mengambil contoh dari Konstitusi Spanyol. Langkah yang diambil oleh Pemerintah di DIY ini perlu ditindaklanjuti.

Hanya saja perlu diperhatikan bahwa di kemudian hari selalu terdapat kemungkinan adanya sengketa sehingga dokumentasi tertulis (seperti notulen dan memo-memo) harus tetap dibuat dalam Bahasa Indonesia jika akan dibuat sebagai alat bukti di pengadilan atau kuasi peradilan atau banding administrative.

Sabtu, 15 Agustus 2009

Insiden Lagu Kebangsaan

Insiden Lagu "Indonesia Raya" Harus Diselidiki demikian salah satu judul berita kompas.com hari yang merujuk pada insiden tanggal 14 Agustus 2009 di DPR. Pernyataan minta maaf dari Ketua DPR (yang berasal dari Partai Golkar) tidak cukup.

Saya dapat menyetujui pendapat yang dilontarkan dalam berita tersebut dengan alasan hukum. Pasal 59 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 20092TENTANG BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN, yang diundangkan pada 9 Juli 2009 berbunyi:

Lagu Kebangsaan wajib diperdengarkan dan/atau dinyanyikan:
a. untuk menghormati Presiden dan/atau Wakil Presiden;
b. untuk menghormati Bendera Negara pada waktu pengibaran atau penurunan Bendera Negara yang diadakan dalam upacara;
c. dalam acara resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah;
d. dalam acara pembukaan sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah;
e. untuk menghormati kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat dalam kunjungan resmi;
f. dalam acara atau kegiatan olahraga internasional; dan
g. dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni internasional yang diselenggarakan di Indonesia.

Insiden yang terjadi itu merupakan pelanggaran terhadap Pasal 59. Patut diduga bahwa DPR tidak menghormati Presiden dan Wakil Presiden. Apalagi para Anggota DPR yang sekarang banyak yang akan hengkang dari kursinya karena sudah ada hasil pemilihan umum. Ketua DPR yang sekarang malah diragukan akan duduk di DPR. Demikian juga kursi kepresidenan yang berhasil dipertahankan oleh SBY (Partai Demokrat) dan terpentalnya Bapak JK (Partai Golkar – Partai mayoritas saat ini di DPR)) dari kursi Wapres karena kalah dalam Pemilu yang lalu, memperkuat dugaan itu.

Pada tanggal 12 Agustus 2009, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pasangan Capres Bapak Jusuf Kalla dan Wiranto serta Pasangan Ibu Megawaty dan Bapak Prabowo.

Insiden tersebut juga merupakan tindakan yang telanjang bahwa DPR tidak mentaati undang-undang yang dibuat dengan persetujuan bersama dengan Presiden. Ketidaktaatan DPR terhadap undang-undang memang suatu hal yang mengenaskan dan merupakan suatu tragedi. Jika DPR saja tidak mentaati undang-undang, bagaimana yang lain akan mentaati UU. Pentaatan terhadap UU harus dimulai dari DPR yang memberi persetujuan atasnya.

Rabu, 12 Agustus 2009

Selamat Pak SBY-Boediono

Mahkamah Konstitusi, dalam putusan yang dibuat dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Selasa tanggal sebelas bulan Agustus tahun dua ribu sembilan, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua belas bulan Agustus tahun dua ribu sembilanakhirnya menolak permohonan yang diajukan oleh Capres JK-Win dan Mega-Pro. Dengan demikian sudah tidak terbantahkan bahwa Pasangan SBY-Boediono merupakan Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Selamat kepada Pasangan SBY-Boediono, Lanjutkan…
Sekedar kesimpulan dan amar putusan dari Putusan Mahkamah Konstitusi adalah:

4. KONKLUSI
Berdasarkan seluruh fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Pemohon I dan Pemohon II;
[4.2] Pemohon I dan Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam perkara a quo;
[4.3] Permohonan Pemohon I dan Pemohon II diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang;
[4.4] Eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak tepat menurut hukum;
[4.5] Berbagai permasalahan yang bersifat kualitatif, yaitu kekacauan masalah penyusunan dan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), regrouping dan/atau pengurangan jumlah TPS, adanya kerjasama atau bantuan IFES, adanya spanduk buatan Termohon mengenai tata cara pencontrengan, beredarnya formulir ilegal model “C-1 PPWP”, dan adanya berbagai pelanggaran Pemilu baik yang bersifat administratif maupun pidana, meskipun ada yang terbukti dalam persidangan, namun tidak atau belum dapat dinilai sebagai pelanggaran Pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, sehingga juga tidak menyebabkan Pemilu cacat hukum atau tidak sah. Meskipun demikian, untuk lebih baiknya pemilupemilu yang akan datang diperlukan langkah-langkah yang profesional baik dalam pembentukan Undang-Undang maupun pelaksanaan tugas-tugas KPU. Sejalan dengan itu, pelanggaran pidana Pemilu dan pelanggaran Pemilu lainnya yang belum ditindaklanjuti, meskipun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap komposisi perolehan suara, dapat diproses lebih lanjut;
[4.6] Dalil-dalil Pemohon I dan Pemohon II mengenai adanya penambahan perolehan suara Pihak Terkait dan mengenai adanya pengurangan suara baik Pemohon I maupun Pemohon II tidak terbukti secara hukum;
[4.7] Jumlah perolehan suara yang didalilkan, baik oleh Pemohon I maupun oleh Pemohon II tidak beralasan hukum.

5. AMAR PUTUSAN
Dengan mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
Mengadili,
Dalam Eksepsi:
Menyatakan Eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tidak dapat diterima.
Dalam Pokok Perkara:
Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk seluruhnya.