Senin, 17 Agustus 2009

Bahasa Jawa di Pemprov DI Yogyakarta

Dalam situs web pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta diberitakan bahwa seluruh pegawai di seluruh lingkungan dinas di pemerintah Provinsi DIY serta kabupaten/kota akan menggunakan bahasa Jawa dalam aktifitas sehari-hari (Yogyakarta,15/8/2009 (pemda-diy.go.id). Hal ini hanya akan berlangsung tiap hari sabtu.

“ Itu khan sebenarnya sudah jauh hari lalu diterapkan khususnya di tingkat kabupaten/kota tapi beda-beda harinya. Nah, mulai besok itu diseragamkan tiap hari Sabtu semua,” ujar Sultan usai menghadiri pidato kenegaraan SBY di DPRD DIY, Jumat (14/8/2009).
Menurut Sri Sultan penggunaan bahasa Jawa dalam aktifitas sehari-hari ini merupakan bentuk penghargaan atas nilai-nilai budaya masyarakat Jawa. Apalagi sejak Indonesia belum merdeka masyarakat Jawa sudah memiliki tradisi sendiri, filosofi sendiri, cara berbusana sendiri, maupun makanan sendiri.
“ Langkah ini sebagai bentuk penghargaan nilai-nilai budaya masyarakat Jawa yang sudah lama diajarkan oleh para orang tua kita,” tuturnya.
Lebih lanjut dari berita tersebut:

Sebelumnya Kepala Biro Umum, Humas, dan Protokol Pemprop DIY Sigit Sapto Raharjo menjelaskan bahwa aturan penggunaan bahasa Jawa ini utamanya untuk komunikasi lisan. Sedang untuk komunikasi tertulis secara formal tetap menggunakan bahasa Indonesia , mengingat jika menggunakan bahasa Jawa dibutuhkan pedoman dan kaidah-kaidah yang perlu dipelajari. Sedang jika surat-surat tidak formal, bisa dimulai dengan bahasa Jawa.
”Misalnya memo kepala kepada stafnya, bisa saja menggunakan bahasa Jawa,” kata Sigit (Krn/Rsd)
Sebagaimana sebelumnya saya tulis, UU No. 24 tahun 2009 mengatur mengenai kewajiban menggunakan bahasa Indonesia. Yang diwajibkan, yang relevan dalam konteks ini, adalah untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam layanan public di instansi pemerintahan (Pasal 30) dan komunikasi resmi dalam lingkungan kerja pemerintah dan swasta. Undang-undang tidak mendefenisikan apa yang dimaksud dengan “komunikasi resmi”.
Saya melihat apa yang dilakukan oleh Pemprov DIY tidak menyalahi UU tersebut. Pasal 42 UU No. 24 tahun 2009 tersebut berbunyi:

(1) Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
(2) Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Upaya yang dilakukan Pem di DIY ini perlu mendapat apresiasi mengingat Indonesia banyak memiliki warisan budaya berupa bahasa yang perlu dikembangkan, dibina, dan dilindungi. Dalam posting saya terdahulu, saya sudah menggarisbawahi hal ini dengan mengambil contoh dari Konstitusi Spanyol. Langkah yang diambil oleh Pemerintah di DIY ini perlu ditindaklanjuti.

Hanya saja perlu diperhatikan bahwa di kemudian hari selalu terdapat kemungkinan adanya sengketa sehingga dokumentasi tertulis (seperti notulen dan memo-memo) harus tetap dibuat dalam Bahasa Indonesia jika akan dibuat sebagai alat bukti di pengadilan atau kuasi peradilan atau banding administrative.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar