Selasa, 27 Oktober 2009

Komunikasi yang Aman: Soal Penyadapan

Hari-hari belakangan ini ramai dibicarakan adanya rekaman percakapan telepon sejumlah orang yang disebut-sebut sebagai rencana penghancuran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak kalangan berharap agar rekaman itu dibuka secara publik dan ditindaklanjuti sebagai suatu kejahatan yang serius. Tentu saja hal ini perlu mendapat apresiasi mengingat upaya-upaya yang dilakukan untuk menghancurkan KPK, sebuah lembaga yang sarat wibawa itu, merupakan suatu upaya menelikung reformasi dan akan dapat membuat upaya-upaya pemberantasan korupsi menjadi sia-sia. KPK memang sudah tersohor sebagai suatu lembagai yang sangat gigih dan mempunyai gigi dalam penegakan hukum di Indonesia.


Namun demikian ada suatu soal yang harus diperhatikan dalam menyikapi rekaman yang disebut-sebut sampai saat ini berada dalam penguasaan dari KPK. Sebagaimana diberitakan juga dalam media elektronik, pihak-pihak yang diduga orang yang direkam pembicaraannya sudah menyampaikan keberatan mengenai rekaman tersebut dan ada juga penyangkalan terhadap pembicaraan yang direkam tersebut. Hal ini menandakan bahwa rekaman yang diberitakan sebagai suatu alat bukti untuk menguak persekongkolan untuk menghancurkan KPK itu dibuat tidak dengan persetujuan dari pihak-pihak yang suaranya diduga ada dalam rekaman tersebut atau rekaman tersebut tidak dibuat dalam rangka mempersoalkan secara hukum persekongkolan tetapi untuk tindak pidana korupsi lain yang diduga melibatkan Anggoro.  Dengan kata lain ada penyadapan komunikasi yang dilakukan oleh yang membuat rekaman itu. Mengingat rekaman itu ada di KPK maka tentu dugaan adalah bahwa penyadapan itu dilakukan oleh pihak KPK atau sekurang-kurangnya sepengetahuan KPK.

Menurut berita di Detiknews:
"Plt Ketua KPK Tumpak Hatorangan dalam jumpa pers Senin (26/10) malam menegaskan bahwa rekaman itu memang ada dan merupakan hasil penyelidikan kasus korupsi sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Dephut dengan tersangka Anggoro Widjojo. Namun saat ditanya apakah isi rekaman seperti yang dirilis di berbagai media, Tumpak enggan berkomentar."

Menjadi persoalan dalam hal ini apakah rekaman yang diperuntukkan untuk penyelidikan kasus korupsi sistem komunikasi radio terpadu dapat dipergunakan untuk kasus lain yaitu untuk pengungkapan persekongkolan untuk menghancurkan KPK? Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga, yang diduga ada dalam rekaman tersebut, sudah menyampaikan pandangan. Dari Detiknews:

"Saya rasa KPK juga tahu bahwa untuk merekam suatu peristiwa, penyadapan hanya diperkenankan oleh UU untuk menyadap yang menyangkut tindak pidana korupsi. Apakah ini menyangkut tindak pidana korupsi? Itu dipertanyakan," ujar Ritonga.


Tulisan ini akan meninjau mengenai keamanan dalam berkomunikasi sebagai suatu hak asasi manusia. Pasal 28 F UUD 1945 menyatakan "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia." Selanjutnya Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi"


Penyadapan

Penyadapan adalah merupakan perbuatan yang terlarang. 

UU Telekomunikasi

Pasal 40 UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi berbunyi:

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.

Ketentuan ini dengan tegas melarang kegiatan penyadapan dan terhadap pelanggaran atas larangan itu, menurut Pasal 56, diancam sanksi pidana paling lama 15 (lima belas) tahun. Pasal 59 menentukan perbuatan yang melanggar Pasal 40 tersebut merupakan kejahatan.

Pasal 42 UU No. 36 tahun 1999 tersebut lebih jauh menentukan:

(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya.

(2) Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:

a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;

b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.

(3) Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



Ketentuan Pasal 42 ayat (1) ini membuat kewajiban kepada Penyelenggara jasa telekomunikasi untuk merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi. Pelanggaran atas Pasal itu, sesuai Pasal 57, diancam sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Perbuatan melanggar Pasal 42 ayat (1) UU itu merupakan kejahatan, sesuai dengan Pasal 59.



Pasal 42 ayat (2) membuka kemungkinan untuk merekam dan memberikan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan atas permintaan Jaksa Agung atau Kepala Kepolisian RI atau penyidik untuk tindak pidana tertentu. Namun demikian tetap dalam hal ini yang melakukan perekaman adalah penyelenggara jasa telekomunikasi. Bukan Jaksa Agung, Kapolri atau penyidik.

Dengan adanya ketentuan-ketentuan sebagaimana disebutkan di atas maka penyadapan tidak diperkenankan dalam bentuk apapun dan merupakan pelanggaran hukum berat.

UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Pasal 31 UU No. 11 tahun 2008 memberikan larangan untuk melakukan penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. Selanjutnya ayat (2) Pasal 31 melarang setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. Namun ayat (3) Pasal 31 menentukan bahwa penyadapan dapat dilakukan dalam rangka penegakan hokum atas permintaan permintaan kepolisian, kejaksaan,dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. PeraturanPemerintah mengenai tata cara penyadapan ini sampai dengan saat ini belum ada.

Dengan demikian baik UU No. 36 tahun 1999 maupun UU No. 11 tahun 2008 berada dalam satu garis yang melarang perbuatan-perbuatan untuk melakukan penyadapan.

UU tentang KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Menyimpang dari ketentuan dalam kedua UU di atas, Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 tahun 2002 memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyadapan dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Hanya dalam kerangka tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan diperbolehkan melakukan penyadapan.

Sebagaimana dikutip di atas pernyataan dari Plt. Ketua KPK Bapak Tumpak Hatorangan Panggabean, rekaman yang ada di KPK adalah untuk penyelidikan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh Anggoro Widjojo. Jika sekiranya dilakukan penyadapan dalam rangka kasus tersebut tentu rekaman yang ada tersebut merupakan rekaman yang sah dan dapat dijadikan sebagai alat bukti. Namun demikian jika sekiranya rekaman itu kemudian dipergunakan untuk kasus lain di kepolisian atau di kejaksaan maka hal itu termasuk pelanggaran hukum. Dengan kata lain, rekaman yang menjadi persoalan, tidak dapat menjadi alat bukti dalam kasus yang ada saat ini mengenai yang disebut sebagai penghancuran KPK.

Penyadapan oleh KPK
Berdasarkan pembacaan saya, saya belum menemukan aturan-aturan yang harus diindahkan dalam melakukan penyadapan. Ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 tahun 2002 tentu akan sangat mengganggu keamanan dan kenyamanan dalam berkomunikasi yang merupakan suatu hak asasi manusia yang diakui dalam UUD 1945. Kasus bocornya rekaman hasil penyadapan tersebut tentu akan membawa persoalan yang serius menyangkut keamanan dan kenyamanan dalam berkomunikasi. Tidak jelas siapa-siapa yang disadap oleh KPK, kapan disadap, dan untuk keperluan apa KPK menyadap. Wewenang KPK yang sangat besar dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diikuti dengan pemberian wewenang untuk melakukan penyadapan potensial untuk disalahgunakan.  Dapat terjadi bahwa penyadapan dilakukan, dengan mengatas namakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, untuk keperluan yang jauh dari pelaksanaan tugas dari KPK.

Persoalan juga akan menjadi berbeda jika sekiranya seperti yang terjadi sekarang ini, penyadapan yang dilakukan atas nama penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, ternyata melahirkan kasus baru, misalnya perzinahan. Pemanfaatan hasil penyadapan oleh KPK untuk kasus-kasus lain diluar peruntukannya tentu merupakan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 40 UU Telekomunikasi atau Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 11 tahun 2008.

KPK perlu menjelaskan kepada masyarakat atura-aturan yang harus diindahkan dan praktek-praktek penyadapan yang dilakukannya. Sebagaimana sudah ditentukan dalam UUD 1945, berkomunikasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.merupakan hak asasi manusia dan setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Meskipun kita sangat menyayangkan adanya upaya-upaya untuk menghancurkan KPK tetapi kita tidak dapat mengabaikan aturan-aturan yang ada dengan memanfaatkan penyadapan KPK untuk kasus yang lain di luar peruntukannya yang semula. Adalah baik untuk membuka setiap konspirasi, tetapi membuka hasil penyadapan KPK untuk tujuan lain dari yang dimaksudkan dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 tahun 2002 adalah merupakan pelanggaran hukum.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar