Selasa, 06 Oktober 2009

Menguji PERPU

Ada semacam kejanggalan mengenai kedudukan dari Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-Undang (PERPU). Kita melihat dalam UU No. 10 tahun 2004 ada ketidaktepatan atau kebertentangan dengan UUD 1945 menyangkut PERPU ini. Pasal 7 ayat (1) huruf b menempatkan PERPU sederajat dengan UU. Karena adanya ketentuan yang menempatkan PERPU setara dengan UU maka kita dapat membaca di hukumonline, kompas.com dan detiknews.com, bahwa sejumlah advokat mengajukan permohonan pengujian atas PERPU No. 4 tahun 2009 yang menghebohkan itu. Tentu secara gamblang kita dapat melihat bahwa upaya dari para advokat itu seperti sia-sia karena toh permohonan mereka akan terbentur dengan persoalan kedudukan hukum (legal standing) dan pada akhirnya masalah pokoknya tidak akan tersentuh. Namun demikian saya pribadi sangat menghargai upaya ini karena dengan adanya persoalan itu saya jadi terpikir untuk membahas soal itu dalam blog saya ini.

PERPU sebagaimana sudah saya ulas sebelumnya dalam posting saya di blog ini harus dikeluarkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Tulisan ini dimaksudkan membahas satu persoalan ketatanegaraan baru, apakah PERPU dapat diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka sebagai suatu persyaratan adalah meluruskan apakah PERPU itu sederajat dengan UU atau tidak. Kalau PERPU sederajat dengan UU tentu dapat diajukan permohonan pengujian ke MK dan kalau ternyata tidak maka harus dicari di tempat lain yang mungkin seperti Mahkamah Agung atau ke DPR. Ketua MK Moh Mahfud MD , sebagaimana dikutip oleh hukum online, menegaskan bahwa PERPU tak bisa diuji ke MK.

Ada dua macam peraturan pemerintah

Landasan hukum dari PERPU adalah Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi:

(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.


(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.


(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Dari ketiga ayat dalam Pasal 22 jelas-jelas disebutkan peraturan pemerintah. Namun peraturan pemerintah menurut Pasal 22 ini adalah sebagai pengganti undang-undang. Hal ini berarti bahwa apa yang kita sebut sebagai PERPU bukanlah undang-undang atau sederajat dengan undang-undang. PERPU adalah istilah yang diciptakan kemudian dan tidak terdapat dalam UUD 1945. Pasal 22 ayat (2) menggunakan istilah peraturan pemerintah dan demikian juga dengan ayat (3). Dengan adanya ketentuan yang menyebutkan peraturan pemerintah dalam Pasal 22, maka menjadi jelas bahwa menurut UUD 1945 terdapat dua macam peraturan pemerintah, yaitu peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945) dan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Pasal 22 ayat (1)). Karena keduanya adalah sama-sama peraturan pemerintah maka keduanya sudah barang tentu sederajat. Jadi bahwa peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang itu memuat materi muatan yang merupakan materi muatan undang-undang tidak menjadikan PERPU itu setara dengan undang-undang. Baik Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 maupun Pasal 22 Ayat (1) menggunakan kata “menetapkan” untuk kedua macam peraturan pemerintah itu. Hal ini terjadi karena Presiden yang menetapkan peraturan pemerintah untuk melaksakan undang-undang menurut Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 adalah juga Presiden yang sama dengan yang menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 Ayat (1). Tentu harus saya ingatkan dalam hubungan ini bahwa Presiden dalam arti jabatannya dan bukan pribadi orang yang mengemban jabatan itu. Dapat terjadi bahwa dalam keadaan normal, katakanlah si A mengemban jabatan Presiden dan kemudian karena si A secara bersamaan dengan wakil presidennya tidak dapat menjalankan kewajibannya lalu Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, dan Menteri Dalam Negeri secara bersama-sama mengeluarkan PERPU menurut Pasal 22 Ayat (1). Ini tentu tindakan presiden juga meski pribadi yang mengeluarkannya berbeda.

Berhubung Presiden yang menetapkan pertauran pemerintah sebagai pelaksanaan UU adalah presiden yang sama dengan presiden yang menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang maka derajat dari kedua peraturan pemerintah itu adalah sama. Jadi peraturan pemerintah menurut Pasal 5 Ayat (2) adalah sederajat dengan peraturan pemerintah menurut Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945.



Memang ada kerancuan yang terdapat dalam UU No. 10 tahun 2004 menyangkut kedudukan dari PERPU ini. Pasal 7 ayat (1) huruf b menempatkan PERPU sederajat dengan UU. Dalam Pasal 4 UU ini ditentukan bahwa “Peraturan Perundang-undangan yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.” Pasal 4 terlihat menyebutkan bahwa ada uu dan peraturan di bawahnya. Namun dengan Pasal 7 ayat (1) huruf b tersebut ternyata yang dimaksudkannya adalah bahwa PERPU itu sederajat dengan UU.



PERPU tidak sederajat dengan UU



Defenisi dari PERPU disebutkan dalam Pasal 1 angka (4) yaitu Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.Pengertian tersebut tidak secara tegas menyebutkan bahwa ia sederajat dengan undang-undang. Sebagaimana disebutkan di atas, Pasal 7 Ayat (1) huruf b yang menempatkan PERPU sederajat dengan UU. Namun menjadi pertanyaan, jika PERPU sederajat dengan UU mengapa masih diperlukan persetujuan DPR dan setelah mendapat persetujuan lalu berubah menjadi UU. Mestinya, kalau PERPU sederajat maka PERPU itu akan tetap berlaku sebagai PERPU dan tidak dibutuhkan lagi persetujuan DPR. Dalam Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa peraturan pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan DPR untuk masa sidang berikutnya.



UU No. 10 tahun 2004 mengelaborasi lebih lanjut ketentuan dalam Pasal 22 UUD 1945 di dalam Pasal 25, yang berbunyi:



(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.


(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang.


(3) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tidak berlaku.


(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.



Sesuai Pasal 25 ayat (2) tersebut, pengajuan PERPU itu adalah dalam bentuk RUU tentang penetapan PERPU menjadi undang-undang. Ayat (3) menentukan lebih lanjut bahwa dalam hal PERPU ditolak maka perpu tersebut tidak berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa DPR lebih tinggi dari Presiden dalam hal keberlakuan lebih lanjut dari PERPU. Jika DPR menyetujui PERPU tersebut maka PERPU itu diangkat menjadi UU. Hal ini terjadi karena menurut Pasal 20 ayat (1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. JIka ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dihubungkan dengan dan Pasal 22 ayat (2) maka akan terlihat bahwa PERPU tersebut tidak setara dengan UU.



Sebagaimana sudah saya sampaikan dalam posting saya terdahulu, salah satu unsur hakiki dari hal ihwal kegentingan yang memaksa adalah tidak dapatnya DPR melakukan persidangan untuk mendapatkan persetujuan bersama dengan Presiden atas suatu Rancangan Undang-undang Menurut Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 harus ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden mengenai RUU. PERPU dikeluarkan karena DPR tidak dapat melakukan persidangan dan PERPU tersebut adalah sebagai pengganti undang-undang. Jadi sesungguhnya istilah peraturan pemerintah pengganti undang-undang sungguh menyesatkan karena kata “sebagai” dihilangkan.



Dengan demikian dapat kita lihat bahwa PERPU itu sesungguhnya tidak sederajat dengan UU dan oleh karenanya tidak dapat diajukan pengujian ke MK. Bahwa PERPU ditempatkan sederajat dengan UU dalam UU No. 10 tahun 2004 menunjukkan adanya kebertentangan antara UU tersebut dengan UUD 1945 dan hal itu perlu diuji.



PERPU bersifat Provisional



Suatu PERPU bersifat sementara sampai DPR menyetujui dan jika menyetujui maka selanjutnya membentuk UU yang menetapkan PERPU sebagai UU. Jika ditolak maka PERPU itu harus tidak berlaku. Persetujuan DPR itu harus diberikan pada masa persidangan berikutnya dari DPR. Dalam Penjelasan Pasal 25 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 disebutkan “Yang dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses.” Ini berarti bahwa setelah hal ihwal kegentingan yang memaksa itu berakhir maka, PERPU itu harus diajukan ke DPR dalam bentuk RUU pada masa sidang berikutnya. Penjelasan Pasal 25 ayat (1) menegaskan bahwa hanya diantarai satu masa reses. Jadi waktu antara diundangkannya suatu PERPU dengan pengajuan untuk persetujuan ke DPR tidak terlalu lama. Atau dengan kata lain kesementaraan itu ada batasannya waktunya dan waktu itu begitu singkat. Dalam kondisi sekarang, PERPU No. 4 tahun 2009 yang menjadi persoalan seyogyanya sudah harus diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR. Jika disetujui maka akan jadi UU dan jika ditolak maka PERPU itu tidak berlaku lagi.

Disini kita melihat sifat kesementaraannya. Jika diajukan pengujian atas PERPU yang hanya bersifat sementara maka tentu suatu hal yang tidak selayaknya karena ketika PERPU dalam proses pengujian PERPU mungkin sudah menjadi UU atau tidak berlaku lagi.

Jadi buat apa bersusah-susah menguji PERPU?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar