Jumat, 13 November 2009

Hak Angket


DPR periode berjalan tidak dapat menggunakan hak angketnya atas pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan oleh Pemerintah pada periode yang sudah berlalu. Fungsi Pengawasan DPR adalah mengawasi pemerintahan yang sedang berjalan, tidak pemerintahan yang sudah tidak ada.  Andaikanlah Pasangan Capres Ibu Mega dan Bapak Prabowo atau Bapak Jusuf Kalla dan Wiranto yang menang dalam Pilpres yang lalu, apakah Pemerintah di bawah Ibu Mega dan Bapak Prabowo atau Jusuf Kalla dan Wiranto diselidiki atas pelaksanaan kebijakan oleh Pemerintahan SBY-JKmenyangkut kasus Bank Century?


---------------------------------------------------------------------------------------------------------



Belakangan ini marak persoalan adanya kasus Bank Century. Kasus ini menyangkut pencairan dana sebesar Rp 6,7 Trilyun untuk menyelamatkan Bank Century. Kasus ini terjadi pada masa pemerintahan SBY-JK dan sudah final, artinya dananya sudah dikucurkan. Kebijakan pemerintahan SBY-JK untuk mengucurkan dana sebesar Rp 6,7 T tersebut kini dipersoalkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  dan DPR berniat untuk menggunakan haknya, yang dijamin oleh UUD 1945, yaitu Hak Angket. Tulisan ini mencoba menjernihkan persoalan hukum yang membelit masalah tersebut, yaitu menyangkut boleh tidaknya digunakan hak angket untuk mengungkap kasus itu.

Dalam pemberitaan-pemberitaan di mass media sudah santer bahwa para anggota DPR sudah menandatangani pengajuan hak angket tersebut. Bahkan menurut rencana, usulan hak angket ini akan dibawakan dalam rapat Badan Musyawarah (BAMUS) DPR.

Pengertian Hak Angket


Hak Angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945:
(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.


Ketentuan tersebut dielaborasi lebih lanjut dalam UU No. 27 tahun 2009 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 123; TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5043).


Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009 menentukan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dari defenisi undang-undang tersebut hak angket adalah hak untuk melakukan penyelidikan. Penyelidikan sendiri tidak didefenisikan. Apakah penyelidikan dalam pengertian dari UU No. 27 tahun 2009 sama dengan pengertian penyelidikan dalam KUHAP? Tidak ada kejelasan. Pasal 179 dan Pasal 180 UU No. 27 tahun 2009 menentukan:

Pasal 179

Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3), selain meminta keterangan dari Pemerintah, dapat juga meminta keterangan dari saksi, pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait lainnya.

Pasal 180

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk memberikan keterangan.

(2) Warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan panitia angket.

Pelaksanaan angket, jika disetujui dilakukan oleh Panitia Angket. Yang dilakukan oleh Panitia Angket adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 dan Pasal 180 ayat (1) dan (2) tersebut.
Jadi yang dimaksud dengan penyelidikan adalah meminta keterangan dari pemerintah, saksi, pakar, organisasi profesi dan/atau pihak terkait lainnya. Untuk mendapatkan keterangan itu DPR panitia angket dapat memanggil Warga Negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

Apa yang diselidiki? Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009, yang diselidiki adalah pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Jadi yang diselidiki itu pelaksanaan, dan bukan kebijakan atau undang-undang. Disini terdapat perbedaan dengan hak interpelasi. Dalam hak interpelasi, yang dilakukan adalah meminta keterangan mengenai kebijakan. Dalam hak angket, menyelidiki pelaksanaan undang-undang dan atau kebijakan. Disini kita dapat melihat bahwa sesungguhnya, sebelum hak angket dilakukan, dapat dilakukan terlebih dahulu hak interpelasi untuk menilai kebijakan.

Menyangkut pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan ini terdapat dua persyaratan. Pertama, pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan itu “berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Kasus Bank Century tentu memenuhi persyaratan dalam hal ini. Kedua adalah pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan harus ada dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Jadi harus ada dugaan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan UU dan/atau kebijakan itu.

Persoalan yang sangat penting menjadi perhatian dari defenisi hak angket itu adalah siapa pemerintah atau pemerintah yang mana yang dimaksudkan. Penjelasan Pasal 77 ayat (3) hanya menyatakan "Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian." Pengertian hak angket tersebut tidak menyebutkan mengenai rentang waktu pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah. Tentu menjadi pertanyaan, untuk periode pemerintah mana saja DPR dapat menggunakan hak angketnya. Apakah pemerintah yang sedang berjalan atau terhadap semua pemerintah yang pernah ada? Pertanyaan ini tentu dapat dianggap tidak valid karena DPR adalah satu kesatuan. DPR yang dulu dan yang sekarang adalah sama, yang beda adalah para anggotanya yang berganti dari masa ke masa. Namun dari sudut lain, pertanyaan ini perlu menjadi perhatian. Apakah DPR periode sekarang dapat mengajukan hak angket untuk pelaksanaan UU dan/atau kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan Pak Harto atau Pak Habibie atau Gus Dura atau Ibu Mega? Sebagimana diketahui kasus Bank Century terjadi pada masa pemerintahan Presiden SBY-JK. Apakah pemerintahan SBY-Boediono harus diselidiki untuk pelaksanaan kebijakan pada masa Presiden SBY-JK.

Jika sekiranya Bapak Soesilo Bambang Yudhoyono dan Boediono tidak terpilih dalam Pemilihan Presiden yang lalu, maka DPR tidak akan menggunakan hak angketnya atas kasus Bank Century karena pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pengucuran dana itu terjadi pada masa Presiden 2004-2009. Andaikanlah Pasangan Capres Ibu Mega dan Bapak Prabowo atau Bapak Jusuf Kalla dan Wiranto yang menang dalam Pilpres yang lalu, apakah Pemerintah di bawah Ibu Mega dan Bapak Prabowo atau Jusuf Kalla dan Wiranto diselidiki atas pelaksanaan kebijakan oleh Pemerintahan SBY-JK? Ini tentu suatu hal yang tidak benar.

Fakta bahwa Presiden masih tetap orang yang sama, tidaklah menunjukkan bahwa pemerintahannya secara otomatis bertanggungjawab atas pelaksanaan yang dilakukan pada pemerintahan SBY-JK. Saat ini Bapak Boediono, yang diduga berperan besar dalam pengucuran dana itu, adalah wakil Presiden sedangikan pengucuran dana itu terjadi pada masa beliau menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia. Demikian juga fakta bahwa Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani masih tetap menjabat Menteri Keuangan, tidak menjadikannya sama dengan Menteri Keuangan pada masa pemerintahan SBY JK.

Muara dari Hak Angket

Hak Angket tentu tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada tindak lanjutnya. Penyelidikan tidak berguna jika tidak ditentukan untuk apa hasil penyelidikan dipergunakan.


Pasal 181 UU No. 27 tahun 2009 menentukan bahwa (1) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket dan (2) Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panitia angket. Apabila Rapat Paripurna DPR memutuskan Pelaksanaan UU dan/atau kebijakan melanggar peraturan perundang-undangan, maka DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat, sedangkan apabila tidak bertentangan maka usul hak angket dinyatakan selesai dan materi angket tidak dapat diajukan kembali.

Sekarang kita mengandaikan bahwa Rapat Paripurna DPR memutuskan bahwa pelaksanaan UU dan/atau kebijakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka DPR dapat menggunakan hak untuk menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat ini diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR. DPR memutuskan apakah menerima atau menolak hak menyatakan pendapat. Kalau menerima usul menyatakan pendapat, maka akan dibentuk Panitia Khusus, yang akan bekerja selama 60 hari dan Rapat Paripurna DPR menerima Laporan Panitia Khusus. Dalam hal rapat Paripurna DPR memutuskan menerima Laporan Panitia Khusus yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi.

Pasal 188 UU No. 27 tahun 2009 selanjutnya menentukan bahwa dalam hal pendapat DPR mengenai adanya perbuatan-perbuatan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang melakukan pelanggaran hokum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.

Jadi disini, dihubungkan dengan usulan hak angket kasus Bank Century, kita melihat bahwa muara dari hak angket adalah pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945. Jadi Presiden SBY-Boediono harus bertanggungjawab dan dapat berujung pada pemberhentiannya atas pelaksanaan UU dan/atau kebijakan yang bertentangan dengan perundang-undangan pada masa pemerintahan SBY-JK. Perlu diperhatikan bahwa Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono dilantik dan mengucapkan sumpah selaku Presiden dan Wakil Presidenpada tanggal 20 Oktober 2009. Ini menandakan bahwa masa pemerintahan sekarang adalah masa pemerintahan yang berbeda dari masa Pemerintahan SBY-JK.


Penutup
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa usulan hak angket oleh sejumlah anggota DPR sungguh tidak tepat dilakukan untuk pelaksanaan UU dan/atau kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah yang sudah berlalu. DPR tidak dapat melakukannya karena tugasnya adalah melakukan pengawasan terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.

Tentu ada mekanisme hukum yang tersedia untuk melakukan pemrosesan terhadap kasus Bank Century itu, yaitu melalui proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi. Proses politik melalui hak angket tidak akan menyelesaikan persoalan dan malahan dapat membuat pemrosesan atas kasus tersebut menjadi sirna. Jika ternyata Laporan Panitia Angket nantinya menyatakan tidak terbukti adanya pelanggaran hukum dalam pengucuran dana ke Bank century, maka hal ini akan menjadi kendala bagi proses hukum. Maka persoalan hukum sebaiknya diselesaikan secara hukum dan tidak melalui saluran-saluran poltik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar