Kamis, 03 Februari 2011

Mengesampingkan Perkara

Ramai dibicarakan mengenai pengesampingan perkara Bibit-Chandra oleh Jaksa Agung. Meskipun sudah agak lama berselang, persoalan itu muncul lagi berkaitan dengan penolakan oleh DPR atas Bibit-Chandra dalam Rapat Dengar Pendapat dengan DPR. Menjadi persoalan, apakah dengan penyampingan perkara, dalam kasus Bibit-Chandra, status "Tersangka" yang sebelumnya dikenakan pada Bibit-Chandra seketika terhapus dengan adanya penyampingan perkara itu? Ada yang bilang status tersangka hilang dan ada yang menyatakan tidak hilang.

Ketika persoalan itu muncul kembali, para komentator, yang mungkin ke-Belanda-belandaan, lebih suka menggunakan istilah "deponeering". Tentu kita menghargai juga penggunaan istilah itu. Namun ada masalah ketika ternyata bukan hanya kata deponeering yang muncul tetapi juga seponering, ketika membicarakan pengesampingan perkara ini. Para ahli hukumpun berselisih soal yang mana yang akurat, deponering atau seponering. Namun untuk menghormati UU No. 24 tahun 2009, saya tidak begitu antusias dengan istilah Belanda yang banyak digunakan itu. Ada baiknya digunakan istilah yang digunakan oleh UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA. Pasal 35 butir c menentukan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Dari ketentuan tersebut dapat dilihat adanya tugas dan wewenang Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Ada dua hal yang menjadi sorotan dalam hal ini. mengesampingkan dan kepentingan umum.

Mengesampingkan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, mengesampingkan v menyampingkan. me·nyam·ping·kan v 1 menyingkirkan ke arah sisi (pinggir); membersihkan: petugas itu - runtuhan pohon yg merintangi jalan; 2 mengabaikan; meremehkan; menyepelekan; tidak menghiraukan: pejabat itu - pendapat yg baik dr bawahannya;

Kamus tersebut untuk entri mengesampingkan juga menyediakan untuk perkara hukum. ditulis disitu "- perkara Huk kewenangan jaksa agung untuk tidak menuntut pelaku tindak pidana berdasarkan kepentingan umum". Apa yang disebut dalam kamus itu mengenai perkara hukum, merujuk pada pengertian yang biasa digunakan di kalangan hukum.

Untuk keperluan penafsiran hukum, entri mengenai mengesampingkan dalam perkara Huk dalam kamus tersebut tidak memenuhi persyaratan.

Dari arti yang diberikan kamus tersebut, yang relevan dengan pembicaraan ini, mengesampingkan itu berati menyingkirkan ke arah sisi (pinggir). Itu artinya, mengesampingkan itu berarti menyingkirkan dari tengah atau jalur. Jalur dalam hal ini adalah bahwa perkara yang harusnya diajukan ke pengadilan untuk dituntut disingkirkan ke yang bukan jalur. Ini tentu akan mengundang pertanyaan sampai kapan dia di sisi (pinggig) atau apakah ada kemungkinan untuk membawa kembali dari sisi (pinggir) ke tengah (jalur). Hal ini mendapatkan dukungan dari Penjelasan Pasal 77 KUHAP yang berbunyi "yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”. Penjelasan ini mengindikasikan bahwa penyampingan perkara demi kepentingan umum, yang adalah wewenang Jaksa Agung, bukanlah penghentian penuntutan yang dapat di-pra-peradilan-kan. Dalam hal ini ada dua kemungkinan apakah penyampingan perkara bukan penghentian penuntutan atau apakah penyampingan perkara juga adalah penghentian penuntutan (perkara). Apakah karena Jaksa Agung yang punya wewenang, maka tidak disebut penghentian penuntutan, sementara Jaksa yang berada di bawahnya harus menggunakan istilah yang berbeda.

Mengesampingkan ini tidak sekedar mengesampingkan tetapi harus ada persyaratannya, yaitu demi kepentingan umum. Berhubung adanya mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, tentu logis juga untuk berpikir bahwa ada mengesampingkan perkara untuk yang bukan kepentingan umum. Namun untuk yang terakhir ini, bukanlah tugas dan wewenang Jaksa Agung. Jadi mengesampingkan perkara disini berarti menyingkirkan ke sisi (pinggir) demi kepentingan umum. Artinya supaya Jaksa Agung dapat dikatakan mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara, harus ada kepentingan umum yang deminya Jaksa Agung mengesampingkan perkara ini. Kepentingan umum itu sendiri adalah "kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas." Dalam kasus Bibit-Chandra tidak jelas "kepentingan umum" apa yang menjadi pertimbangan Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara tersebut. Justru, Jaksa Agung mengabaikan kepentingan umum dengan menyampingkan perkara itu. Hal ini terjadi karena sesunggunya pengadilan sudah memutuskan agar perkara tersebut dilanjutkan ke pengadilan. Jadi dalam hal ini Jaksa Agung tidak menghormati pengadilan. Jika suatu putusan pengadilan dapat dikesampingkan begitu saja oleh Jaksa Agung, maka kepentingan umum menjadi diinjak-injak oleh Jaksa Agung. Memang hal ini menjadi penilaian subjektif Jaksa Agung untuk menentukan ada tidaknya kepentingan umum yang akan terganggu jika kasus Bibit-Chandra ini diajukan ke pengadilan.

Penjelasan Pasal 35 butir c UU Kejaksaan itu menyatakan:

"Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut".

Asas Oportunitas merupakan lawan dari asas legalitas. Asas Opportunitas, asas yang menentukan bahwa tidak setiap tindak pidana yang dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut. Asas Legalitas, asas yang menentukan bahwa setiap tindak pidana yang
dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut.

Asas oportunitas dijalankan oleh Jaksa Agung demi kepentingan umum (Pasal 35 butir c Undang-undang Kejaksaan) dan oleh jaksa di bawah Jaksa agung untuk perkara yang dihentikan bukan demi kepentingan umum (Pasal 77 KUHAP).

Mengingat adanya alasan demi kepentingan umum dan yang bukan demi kepentingan umum dimana yang pertama tidak dapat dipersoalkan dalam Pra Peradilan sedangkan yang terakhir dapat, maka adalah logis jika beranggapan bahwa penyampingan demi kepentingan umum bukanlah suatu yang sudah defenitif yang dapat dipersoalkan melalui Pra Peradilan. Jadi penyampingan perkara ini memang bukan penghentian penuntutan, tetapi hanya semata-mata menyingkirkan ke sisi (pinggir). Status tersangka, yang sudah sempat melekat, tidak dengan sendirinya terhapus. Jika hanya penghentian penuntutan yang dapat dipersoalkan, maka akan ada ketidaksamaan di hadapan hukum, yang sudah pasti bertentangan dengan UUD 1945. Jaksa Agung dapat bertindak mengesampingkan perkara tanpa ada kontrol. Sayangnya KUHAP dan UU Kejaksaan tidak mengatur kemana hal ini dipersoalkan.

Keputusan Jaksa Agung memenuhi syarat sebagai suatu keputusan tata usaha negara, dalam pengertian yang diberikan oleh UU No. 5 tahun 1986. Namun UU No. 5 tahun 1986 membatasi PTUN untuk tidak mengadili keputusan TUN yang diambil dalam pelaksanaan Hukum Acara Pidana dan dengan demikian soal penyampingan perkara bukan wewenang PTUN. Mengingat yang mempersoalkan penyampimgan perkara Bibit-Chandra adalah DPR, maka DPR dapat mempersoalkannya sebagai suatu sengketa antar lembaga negara. DPR dapat mengajukan persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar